Aku memasang earphone di telinga lalu sejenak santai mendengar lagu kesukaan yang berulang kali kuputar sambil menatap ke arah jendela yang disuguhi dengan pemandangan jemuran kain Mama.
"Sera!"
Satu teriakan Mama mampu menembus volume lagu yang ada di earphone, aku menghela napas panjang.
"Apa sih, Ma?"
Aku melepaskan earphone lalu melihat wajahnya yang kusam duduk di hadapanku.
"Harusnya kerjaan kamu bukan dengar lagu terus. Sera, ingat umur dong!"
Namaku Seraphina perempuan 31 tahun yang hampir berkarat karena belum menikah dan wanita paruh baya yang di hadapanku ini adalah Mama si pencomblang setia.
Telingaku bosan mendengar kata umur ntah berapa ratus kali Mama harus terus mengatakan hal itu.
"Masa bahas begini lagi sih, Ma?"
Sorot mata Mama menajam memandangku.
"Udah belasan pria Mama kenalin ke kamu masa satu aja gak ada yang cocok, berarti kan masalahnya ada di kamu!"
Aku mendesah lembut berusaha untuk menenangkan jiwa agar tidak terpancing emosi dengan Mama.
"Ma, menikah itu satu kali seumur hidup ya kali aku paksa untuk cocok sementara akhirnya nanti malah cerai! Ga lucu kan, Ma?"
Masih jelas teringat dipucuk ingatanku semasa kuliah aku dijuluki wanita penakluk lelaki. Begitu banyak yang mengantri ingin menjadi pacarku.
Tapi sekarang malah berbanding terbalik semua yang dekat belum berani mengajakku ke jenjang halal.
"Itu terus alasanmu, Cinta itu bisa tumbuh seiring kamu jalani rumah tangga nanti Sera!" cecar Mama yang sedikit pun tetap tidak mau kalah dariku.
Aku mendesis kesal, "Ma, Donna Agnesia aja nikah usia tua loh buktinya mereka bahagia!"
Mama mendengkus mendengar pernyataanku dan kembali bersuara , "Itu artis. Lah kamu siapa? Bisa gak kamu buang egomu dan lihat Mama?."
Suara Mama seolah menghempaskanku ke dasar jurang. Hatiku terlalu sakit jika harus berulang kali mendengar kalimat saktinya.
"Mau Mama meninggal terus gak sempat lihat kamu menikah sama kayak Papa?" Lanjut Mama dengan nada sedikit lebih naik dari sebelumnya.
Ntah aku harus menyalahkan takdir atau tidak namun Papa meninggal tepat di hadapanku padahal keinginan besarnya adalah melihatku menikah.
Mulai sejak kepergiannya Mama selalu menyalahkan kalau aku adalah anak durhaka yang tidak mengerti kemauan orang tuanya.
"Ya udah terserah Mama aja, Mama maunya aku harus gimana?"
Aku kembali pasrah dengan keadaan yang ada daripada harus ribut lagi dengan Mama itulah yang ada di pikiranku saat ini.
"Oke, minggu depan ada anak satu arisan Mama datang ke rumah, kerjaannya paspampres dan umurnya di atas kamu 5 tahun."
Aku menghela napasku lagi sambil mengangguk tanda setuju.
Mama mengulum senyum, " Ingat ya, Sera, kalau sama yang ini Mama yakin seribu persen hidupmu sejahtera."
Aku menelan ludah dengan susah payah mendengar pernyataan Mama yang tidak pernah berubah kalau kesejahteraan rumah tangga itu dilihat dari pekerjaan seseorang.
Mama bangkit dari tempat tidurku mengambil sapunya lalu keluar dari kamarku dengan sumringah.
Klek.
Kututup pintu kamar lalu mencoba merebahkan diri karena sejujurnya perdebatan ini membuatku lelah.