Aku menyeka bekas semprotan Jovi dengan tisu sambil menggerutu,
"Kaget boleh tapi gak nyemprot juga , sih! Ini kan baru mau kasih tahu Jovi, dia kerja di Jakarta terus kenalnya lewat Facebook," jawabku.
Aku hendak menyambungkan kalimat, namun kuurungkan untuk sesaat karena kulihat Jovi masih juga shock dengan beritaku.
Memang aku baru saja jadian dengannya namun kita sudah lama kenal ya walaupun hanya di dunia maya.
Jovi melirik jam tangannya,
"Kamu temuin dulu yang dijodohin tante baru ceritain semuanya dan satu lagi, Sera, yang dekat lebih nyata daripada sosial media!"
Aku menyeruput minumanku lalu bergegas mengikuti Jovi yang siap-siap untuk pergi.
Kurang lebih setengah jam perjalanan dari cafe menuju tempatku.
"Ingat ya, Sera, coba kenalin baik-baik dulu jangan langsung jutekin!"
Aku merasa sejak Jovi menikah dirinya sedikit banyak sudah lebih dewasa dalam bersikap.
Semakin aku memandang kehidupan Jovi hasrat ingin menikahku memang semakin meninggi karena dikelilingi oleh kebahagiaan namun tidak untuk dijodohkan.
Aku tetap ingin menentukan siapa yang aku pilih untuk hari tuaku kelak.
"Iya, aku turun duluan ya!" pamitku lalu menutup pintu mobil lalu melambaikan tanganku ke arah Jovi.
Aku masuk lewat ruang tamu lalu mataku tertuju ke pria yang juga sedang menatap kehadiranku.
Mama sendiri memberi kode diam-diam menunjuk ke arah mulutnya agar aku tersenyum.
Tanpa basa-basi aku memberi salam,
"Hai aku Sera. Udah lama nunggu ya?"
Lelaki tinggi dengan perawakan begitu sangar membuatku sama sekali tidak tergoda.
Lelaki itu berdiri menyambutku,
"Hai aku Hansen Prawira. Gak kok baru sebentar."
Aku mempersilahkannya kembali untuk duduk sedang raut wajah Mama begitu merona melihat kami berdua.
"Tante ada kerjaan lagi nih, kalian lanjut saja ya," ucap Mama berlalu setelah anggukan dari Hansen.
Penyesalanku adalah mengapa begitu cepat papa pergi karena dirinya sangat menentang yang namanya perjodohan.
Sedangkan jika aku tetap bersikeras menolak maka siap-siaplah namaku tidak akan ada lagi di kartu keluarga.
Hansen menaruh gelas yang baru diminumnya lalu kembali memulai topik pembicaraan,
"Oh ya, Dek Sera berarti sudah gak kerja lagi ya?"
Dek ? Salah satu kata yang paling aku benci. Tidak ada alasan hanya saja terlalu risih kedengarannya.
"Hmm ... jangan panggil dek ya! Sera aja, iya aku baru aja berhenti, Bang."
Dia tertawa terbahak-bahak dengan mulutnya yang begitu besar membuatku mulai ilfeel.
Aku mengutuki diriku mengapa hampir beberapa pria yang dijodohkan mama semuanya aneh-aneh.