TABLE FOR TWO

Bentang Pustaka
Chapter #2

1

Back to Jakarta. Back to reality.

Hal yang paling aku benci dari liburan adalah ketika liburan itu harus berakhir. Seperti hari ini. Mau tidak mau, aku terpaksa kembali dan berhadapan dengan kenyataan. Kehidupan yang “sesungguhnya”, dan itu menyebalkan.

Tidak. Aku tidak membenci hidupku atau Jakarta yang semakin macet dan panas. Dengan semua ketidaksempurnaan yang ada, aku mencintai hidupku. Aku bahagia. Tapi, sejak beberapa bulan lalu ada yang sedang menghantui hidupku. Skripsi.

Yap. Skrip-shit. Setengah terpaksa aku berjalan keluar dari ruang kedatangan Bandara Soekarno-Hatta. Menarik malas koperku yang sekarang penuh sesak dengan pakaian kotor serta berbagai suvenir yang aku beli secara implusif karena bentuknya yang lucu dan tentu saja, harganya yang relatif murah.

Omooo (Ya Tuhan)! Aku berusaha menahan diri untuk tidak berteriak melihat keadaan terminal kedatangan yang ramai, riuh, dan panas. Aku lupa, sejak harga tiket pesawat menjadi lebih terjangkau, semua orang bisa terbang dan bandara jadi tidak ada bedanya dengan terminal bus. Bahkan, bandara internasional seperti ini sekalipun.

Membayangkan bahwa aku harus mengantre taksi di tengah keramaian ini membuat kepalaku mendadak sakit. Sambil mengedarkan pandangan, aku memijit pelipisku pelan. Berharap sakit kepala ini segera menghilang. Ugh, aku benci keramaian.

Tuhan, aku membutuhkan pertolongan-Mu!

“Kecil!” Suara yang sangat familier tiba-tiba menyapaku.

Hanya satu orang di dunia ini yang memanggilku “Kecil”. Seseorang yang seharusnya tidak berada di sini karena aku tidak mengabarkan kepulanganku kepadanya.

“Kak Rama?” Setelah menemukan sosoknya di tengah keramaian, aku mempercepat langkah dan berjalan pasti ke arahnya. “Kakak, kok, ada di sini?” Aku sengaja tidak memberi tahu tentang kepulanganku, agar menjadi kejutan.

Kak Rama memamerkan senyuman yang selalu berhasil membuatku ikut tersenyum. “Kejutan!” Dia mengambil alih koper dari tanganku. “Barang bawaanmu cuma ini?”

“Iya, aku kan traveler cerdas! Eh, Kakak, kok, bisa ada di sini, sih?” Aku mengikuti langkahnya, masih saja penasaran.

“Mana mungkin aku tega biarin kamu pulang naik taksi?” Dia mengusap kepalaku lembut.

“Tapi, Kakak tahu dari siapa? Dari Mama, ya? Ih, dasar Mama! Padahal, udah aku bilang jangan bilang-bilang sama Kakak kalau aku pulang hari ini. Huh!”

Kak Rama tertawa melihat kekesalanku. “Iya, tadi Dokter Wina minta aku jemput kamu. Seminggu nggak ketemu kamu jadi makin cantik, Sha.”

“Cantik? Makin hitam sih, iya.” Aku tertawa mendengar gombalannya sambil memamerkan lenganku yang terbakar sinar matahari Lombok. “Well done! Matang sempurna!”

Dia ikut tertawa bersamaku. “Yuk, Dokter Wina udah nggak sabar pengin ketemu anak gadisnya yang hilang seminggu di Lombok.”

“Masa, sih?” Aku mengibaskan tangan di depan wajahku. “Mama bukan kangen aku, tapi udah nggak sabar pengin lihat titipannya. Kain tenun khas Lombok!”

Kak Rama kembali tertawa. “Kamu mau ikut ke parkiran atau nunggu di sini? Parkirannya rada jauh, sih.”

“Aku ikut aja, deh.” Sengaja aku menggandeng tangannya. “Kangen.”

“Kamu itu, ya.” Dia kembali tersenyum dan mengusap kepalaku dengan lembut. “Ya udah, yuk!”

Masih sambil bergandengan tangan, kami berjalan menuju tempat mobil Kak Rama diparkir. Sepanjang jalan aku tidak berhenti menceritakan berbagai pengalaman dan keseruan yang aku alami selama seminggu di Lombok. Mulai dari betapa cantiknya senja di sana sampai kebodohan yang aku lakukan karena ketidakmampuanku membaca peta.

Lihat selengkapnya