Tabu di Tanah Tuba

Ariyanto
Chapter #1

Persekusi

Kediri, Jumat, 2 Oktober 2015, 09.30 WIB:

Wanita tua itu mendekap erat tubuh bocah perempuan berumur 4 tahun itu dan menenggelamkan wajah bocah itu ke dadanya, bergesekan dengan kebaya yang dikenakan wanita itu. Dengan tangan dan bibir bergetar, wanita tua itu dengan sekuat tenaga menekan gelegak di dalam hatinya, tak ingin tangisnya pecah yang akan membuat cucu dalam dekapnya semakin ketakutan. Sementara di sampingnya, duduk sang suami yang mendekap erat seorang bocah lain berumur 7 tahun. Wajah laki-laki tua itu pucat, sedikit tertutupi jambang dan kumis lebatnya yang tak beraturan.

Sama seperti istrinya, dia sekuat tenaga menahan buncahan emosi di dadanya supaya gadis kecil dalam dekapannya tenang. Namun, suara keras warga tak urung membuat gadis cilik itu menangis ketakutan. Telapak tangan kanan laki-laki tua itu mengelus-elus kepalanya, sebagai upaya terakhir agar gadis itu tenang, "Sssh ... ssh ... ssh ... tidak apa-apa," bisik laki-laki tua itu.

“Mbah Sumo! Kami sudah memperingatkan berkali-kali. Segera bawa pergi dua anak itu menyingkir dari desa ini atau kami akan bertindak mengusir paksa kalian!” teriak seorang laki-laki dengan keras dan berat. Laki-laki gempal berjambang lebat itu tampak berdiri di depan belasan warga desa yang berjejal di halaman rumah pasangan lanjut usia itu. Berdiri berkacak pinggang dengan congkak.

 “Usir saja! Usir dari desa ini!” seru salah seorang warga dari deretan belakang, lalu disambut sorak sorai warga. Tangan mereka terkepal ke atas, suara mereka menusuk tajam menelusup ke telinga dan hati pasangan orang tua dan dua cucunya itu.

"Pembawa sial, tak pantas berada di desa ini!" seorang pemuda berteriak lantang. Suaranya keras, tapi wajahnya tak kelihatan karena bersembunyi di kerumunan.

“Pak Sumo, Bu Marjiyem, kami tidak ingin petaka terjadi di desa ini hanya karena ulah binal anak kalian. Lihat hasilnya! Sekarang desa ini sudah diazab Gusti Allah, dikasih wabah penyakit yang akan menghabiskan seluruh penduduk di sini. Kami tidak bisa membiarkan. Ini bukan salah kami. Ini salah anak kalian!” teriak suara perempuan di deretan tengah. Kembali kalimat itu disambut dengan teriakan-teriakan dan tepuk tangan.

Sumo Martono dan Marjiyem, dua pasangan lanjut usia itu bergeming dengan mata nanar memandang lurus ke depan. Keduanya tak tahu harus berbuat dan berucap apa. Yang mereka tahu, mereka harus melindungi dua cucu perempuannya.

“Anak-anak sial! Minggat dari desa ini!” seru yang lain.

“Tidak bisa nanti-nanti. Segera pergi atau kami akan melakukan tindakan yang tidak kalian inginkan!” sahut seorang laki-laki lain.

Salah seorang pemuda tiba-tiba meloncat keluar dari kerumunan, lalu melangkah cepat menuju ke jemuran yang berada di sisi kiri halaman itu. Dengan cepat disambarnya sejumlah baju anak-anak yang tengah dijemur. Tindakan pemuda itu diikuti beberapa warga yang mengambil sejumlah pakaian anak-anak yang dijemur. Pemuda yang memulai aksi itu telah meletakkan pakaian anak-anak itu di tanah di samping tong sampah, lalu memberi kode pada seorang pemuda lain untuk mendekat. Pemuda yang dipanggil tampak membawa sebuah jeriken kecil. Dengan cepat dibukanya tutup jeriken, lalu dituangkan isinya ke pakaian-pakaian anak-anak yang tergeletak di lantai. Bau bensin menguar cepat dan tak menunggu lama, pemuda itu menyulut korek api dan melemparkan ke pakaian-pakaian itu. Warga bersorak kesetanan. Semua seperti sudah diatur, sama seperti jeriken isi bensin yang sudah disiapkan.

“Bakaaaar!!!” sambut warga disertai tepuk tangah bergemuruh.

Meskipun wajahnya tetap tenang, namun kedua kaki Bu Marjiyem bergetar hebat melihat peristiwa itu. Tak pernah terlintas dalam benak perempuan tua itu akan mengalami kejadian ini. Beberapa warga melempar pakaian lainnya ke dalam kobaran api itu. Api menghanguskan pakaian-pakaian itu dengan cepat diiringi teriakan dan gemuruh tepuk tangan. Asap hitam membumbung dari halaman rumah itu. Suasana mencekam dan tak seorangpun berani mencegah aksi itu. Malah tepuk tangan terdengar semakin keras saat api membesar.

Di tengah aksi, sejumlah anggota Bintara Pembina Desa atau Babinsa datang. Sebuah mobil polisi juga berhenti dan tampak sejumlah petugas kepolisian mendekat ke arah warga. Mereka meminta warga tenang dan tidak bertindak anarkis. Dua orang anggota Babinsa tampak membawa masing-masing seember air, lalu mematikan api yang membakar pakaian-pakaian itu.

“Jangan dimatikan apinya, Pak! Itu sumber penyakit. Itu petaka yang harus disingkirkan dari desa ini! Biar kedua orang tua itu paham, bahwa keluarganya telah membawa sial bagi desa ini!” teriak laki-laki gempal yang sejak awal memprovokasi warga.

“Tenang, Pak Pram Bojel. Semua bisa dibicarakan. Mari selesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Kepala dingin saudara-saudara,” sambut seorang anggota polisi sambil merangkul laki-laki gempal itu.

“Ayo … ayo, sudah kita selesaikan dengan baik-baik. Nanti kita tampung apa yang menjadi keinginan warga dan kita carikan solusi yang terbaik bagi semuanya,” ujar salah seorang anggota Babinsa yang tadi mematikan api.

Lalu anggota polisi dan Babinsa itu tampak menarik lelaki gempal itu ke arah pinggir dan berdialog untuk menentukan langkah terbaik. Sementara, kerumunan warga tampak kembali tenang seperti menunggu perintah dari laki-laki gempal itu. Tanpa lelaki itu, warga seperti kerupuk diguyur air, diam dan tak ada satupun yang berani bergerak. Sekitar lima menit kemudian, pembicaraan laki-laki gempal itu dengan anggota Babinsa dan polisi telah selesai.

“Warga sekalian, tadi saya sudah berbicara dengan aparat. Intinya, saya mewakili warga tidak mau mundur dari tuntutan. Dua anak perempuan itu harus pergi dari desa ini!” serunya keras yang disambut dengan teriakan dukungan dari warga.

“Tenaaang … tenaaang. Saya juga mengatakan kepada aparat. Bahwa warga desa ini bukanlah orang jahat. Kita bukan orang jahat. Kita melakukan ini karena tidak ada pilihan. Ini adalah soal hidup dan mati kita, anak-anak kita, cucu kita. Karena itulah … untuk terakhir kalinya, kita akan memberikan kesempatan kedua orang tua ini untuk segera membawa pergi dua cucunya ini ke luar dari desa ini. Se-ge-ra! Batas waktu yang kita berikan adalah tiga hari! Bagaimana?” tawar laki-laki itu.

Warga bersorak girang dan tepuk tangan pun kembali membahana. Celetukan, suara-suara tak jelas dari warga terdengar berseliweran di udara. Gaduh memenuhi halaman rumah itu dan untuk beberapa saat laki-laki gempal itu membiarkannya, hingga akhirnya gemuruh itu hilang dengan sendirinya.

“Jadi Pak Sumo … Bu Marjiyem … jelas ya? Ini bukan kemauan saya saja. Ini kemauan seluruh warga desa. Sudah jelas, tak bisa ditawar. Terhitung mulai besok hingga tiga hari ke depan, dua anak perempuan itu harus pergi dari desa ini. Terserah bagaimana caranya. Sementara untuk Pak Sumo dan Bu Marjiyem kalau mau tinggal di desa ini kami masih bisa menerima."

Bibir laki-laki tua itu bergetar seperti ingin menyampaikan sesuatu, namun tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Suara laki-laki gempal itu sangat keras, namun tak satu pun dipahami Pak Sumo, karena tak satu pun masuk ke hatinya. Bagi Pak Sumo, saking ributnya suara-suara itu, pandangannya seperti melihat televisi dengan volume rusak. Semua berteriak, semua memaki, semua berebut ingin menghujat, hingga tak terdengar lagi apa sebenarnya yang mereka katakan.

“Pak Sumo! Paham kan?” kata laki-laki gempal itu menegaskan.

Laki-laki tua hanya bereaksi dengan menggerakkan tangannya, memeluk gadis kecil di dekapannya semakin erat. Sementara wanita tua di sampingnya meraih tangan laki-laki tua itu seperti ingin mengalirkan energinya agar laki-laki tua itu kuat.

“Kami … sangat mengerti,” jawab wanita tua itu dengan tegas sambil memandang tajam ke arah laki-laki gempal si provokator.

“Baiklah, Bu Marjiyem. Kami pegang kata-katanya. Sekarang semua warga pulang. Tiga hari lagi kita kumpul di sini untuk memastikan bahwa dua orang anak perempuan ini sudah tidak ada di desa ini lagi. Sekarang bubaaar!” teriak laki-laki gempal itu.

Begitu warga bubar, air mata wanita tua itu tumpah di pipi. Tak ada suara tangis, pun isak kecil yang terdengar. Hanya bulir-bulir air yang berjatuhan cepat di kedua bidang pipinya, menelusup ke kerut-kerut wajahnya. Tak lama, punggung telapak tangan kanannya mengusap cepat air mata itu sebelum cucu yang didekapnya memergoki.

Lihat selengkapnya