Sepulang kerja, Wira duduk di ruang tamu kecil rumahnya. Secangkir kopi hitam dan kudapan berupa bakwan jagung yang dibikinkan ibu telah terhidang di meja kecil ruang itu. Pemuda itu bukan jenis orang yang suka ngemil, tetapi apapun yang disediakan ibunya akan dia makan sebagai bentuk penghargaan atas niat baik sang ibu. Ibu tak membebani aktivitas membuat kudapannya dengan budget khusus dan lebih sering membuat kudapan dengan bahan-bahan sisa yang tersedia di dapur.
Dulu saat bapak masih ada, setiap jam 5 sore di meja kecil itu sudah tersedia teh panas di cangkir blirik jimbung. Cangkir jimbung adalah cangkir jumbo. Di sampingnya selalu tersedia kudapan. Ibu tak menghapus aktivitas itu setelah bapak meninggal, tetapi hanya mengganti teh dengan kopi sesuai selera Wira. Itu semacam "sesajen" yang dipersembahkan kepada kepala keluarga, bentuk terima kasih telah menghidupi rumah itu. "Sesajen" itu sekarang disajikan untuk Wira, sebagai kepala keluarga.
Wira menyeruput kopi hitam itu. Pikirannya masih penuh oleh peristiwa tadi siang, pertemuannya dengan Handoko dan tindakan apa yang harus dia lakukan. Tetapi, amplop berisi uang itu sudah telanjur diterimanya, sehingga konsekuensinya besok pagi dia harus berangkat ke Kediri. Sempat terlintas di benak pemuda itu untuk mengembalikan saja amplop berisi uang itu. Wira mengacak-acak rambutnya sendiri seperti pusing dengan apa yang dia hadapi. Kenapa sih dia mau terlibat dengan urusan ini? batinnya.
Gorden merah marun bunga-bunga penyekat ruang depan dan ruang bagian dalam terbuka. Adma, sang adik, keluar dan mengambil duduk di depan Wira. Pemuda itu menatap sang adik, seperti tahu bahwa adiknya akan menagih sesuatu. Adma, pemuda tanggung kelas XI SMK Kartika Bangsa itu mengambil duduk di depan Wira. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Adma. Dia hanya memandangi Wira dengan wajah sayu. Wira menatap adiknya, wajah itu paling mirip dengan wajah almarhum bapak. Perawakannya pun sama, potongan rambutnya pun sama. Tunggu sampai Adma tersenyum, maka wajah itu plek ketiplek dengan wajah bapaknya.
“Besok batas akhir?” tanya Wira.
Adma mengangguk dengan wajah serupa pasrah. Berat baginya untuk terus menerus menagih uang kepada kakaknya. Tetapi tidak ada pilihan lain. Empat hari lalu Adma sudah bercerita kepada Wira bahwa batas pelunasan biaya kegiatan kunjungan industri ke Jakarta sudah dekat. Wira saat itu menegaskan bahwa dirinya sanggup untuk melunasi dan meminta Adma tidak khawatir tentang itu.
Semenjak ayah mereka meninggal dunia, tanggung jawab sebagai kepala keluarga ada di diri Wira. Saat itu bahkan Wira berjanji kepada Adma dan ibu mereka, bahwa Wira akan menjadi anak yang bisa diandalkan keluarga. Sayangnya, lebih sering hal itu tidak terjadi karena memang pekerjaan Wira tak menghasilkan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tanpa latar pendidikan yang cukup, sulit bagi Wira untuk memperoleh pekerjaan yang berpenghasilan besar atau sekadar cukup.
“Masih kurang berapa?” tanya Wira.
“Biaya kunjungan industri kan totalnya Rp1,2 juta, Mas. Nah, yang Rp700.000 itu sudah diambilkan dari tabungan murid selama setahun terakhir. Jadi kurang Rp500.000 dan besok hari terakhir pelunasan,” kata Adma.
Wira terdiam. Hari ini dia hanya mengantongi uang Rp300.000 dari hasil parkir. Itu pun ada tagihan listrik yang harus dibayar, juga uang belanja untuk ibu. Lalu di sana, di saku belakang celana jeansnya terdapat sebuah amplop putih berisi uang Rp2 juta dari Handoko. Wira mangut-mangut sendiri, bimbang mengambil keputusan. Tangannya beberapa kali menepuk saku belakang celana jeansnya. Adma memandangi tingkah laku kakaknya dengan sedikit heran.
“Uang ini bisa digunakan untuk menyewa mobil menjemput mereka, sisanya untuk keperluan lain, termasuk mengganti penghasilan dari jasa parkir yang hilang besok karena Mas Wira harus ke Kediri.”
"Iya, mengganti uang hasil kerja besok ... hmm," gumam Wira.
"Apa, Mas?"
"Oh, nggak apa-apa ...."
Pemuda itu kemudian menatap ke arah adiknya, seperti tak tega. Wira ingat sekali, bapaknya dulu berjanji di depan mukanya, bahwa apapun yang terjadi, Wira harus kuliah. Maka saat Wira diterima di Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret atau UNS, sang bapak adalah orang yang paling gembira dan bersemangat. Dia jejingkrakan di depan rumah sampai tetangga-tetangga keheranan. Saat ditanya tetangga, bapaknya berteriak "Anakku kuliah, woiii!"
Sebangga itu.
Direlakannya motor Honda Revo kesayangannya untuk dijual dan uangnya digunakan untuk membayar biaya daftar ulang di UNS. Untuk aktivitas sehari-hari, bapaknya yang hanya seorang anggota Hansip kelurahan, menggunakan sepeda ontel, sesekali memakai motor inventaris kelurahan.
“Kalau ada rejeki, nanti beli motor lagi bisa. Pokoknya, kamu harus kuliah,” kata sang bapak waktu itu.
Sayangnya, hanya dua semester sang bapak bisa melihat Wira kuliah. Saat Wira duduk di bangku kuliah semester tiga, bapak meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Saat itu bapaknya disuruh Pak Lurah untuk mengantarkan berkas ke kantor kecamatan. Dengan mengendarai motor inventaris kelurahan, bapaknya berangkat ke kantor kecamatan yang berjarak sekitar 3 kilometer. Nahas, di perempatan Baron yang jaraknya tinggal 200 meter dari kantor kelurahan, motor sang bapak disundul truk yang blong remnya.
Sejak saat itu, Wira kedodoran meneruskan kuliah karena tak ada tabungan atau warisan dari sang bapak untuk membiayai kuliahnya. Mengandalkan penghasilan ibu dari menjahit jelas tidak cukup, bahkan untuk sekadar makan dan biaya hidup sehari-hari. Karena itulah Wira memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah dan mulai bekerja serabutan, hingga akhirnya menjadi juru parkir.
Wira memandang lagi wajah adiknya. Pemuda itu tak ingin adiknya akan bernasib sama dengan dirinya. Masih ada waktu untuk membuat masa depan adiknya jauh lebih baik daripada dirinya.
“Nggak apa-apa, Mas kalau memang nggak ada uang. Nanti Adma bisa bilang ke wali kelas, kalau Adma nggak bisa ikut kunjungan industri. Bisa diganti dengan kunjungan industri di perusahaan yang ada di Solo kok, Mas. Nanti tinggal bikin laporan hasil kunjungan,” kata Adma.
"Tapi uang tabungannya yang Rp700.000 hilang dong," sergah Wira.
Adma terdiam. Kunjungan industri ke Jakarta mungkin bisa diganti dengan kunjungan industri di Solo. Namun kenangan kebersamaan dengan teman-teman sekelasnya tentu tak bisa diganti. Bisa dibayangkan betapa kecewanya sang adik karena tak memiliki kenangan semasa sekolah menengah ngetrip ke luar kota, yang kata orang adalah kenangan sekali seumur hidup yang tak boleh dilewatkan.