Tabu di Tanah Tuba

Ariyanto
Chapter #3

Seperti Ibu, Seperti Itu Anaknya

Wanita yang sudah berumur lebih dari 60 tahun itu berdiri memandangi piring-piring kotor di tangannya. Mendadak dia meletakkan kembali piring kotor itu ke atas meja. Wanita itu tak melanjutkan niatnya untuk membereskan piring-piring kotor habis dipakai sarapan, kembali duduk dan terdiam agak lama sambil menatap tajam ke arah Wira. Kerutan di wajahnya seperti lapis-lapis kerasnya hidup yang ditempel tahun demi tahun, masa demi masa, terpahat cukup dalam hingga mungkin tak ada make up yang bisa mengaburkannya.

Wanita itu menghela napas berat, sebelum kemudian mengucapkan kata-kata, “Kamu tidak bisa seperti ini lagi, Wira. Hidup kita saja sudah sedemikian berantakan sejak bapakmu meninggal. Kita bahkan tidak bisa menolong diri kita sendiri. Sekarang tiba-tiba kamu mengambil peran atas hidup orang lain dan mencoba menolong mereka. Kamu tidak bisa begini terus. Kamu harus tahu batasnya,” ujar ibu.

Soal "tahu batas" ini memang sudah kerap didengar Wira dari ibunya. Sang ibu seperti khawatir Wira lupa diri dan permasalahan hidupnya karena terlalu fokus pada hidup dan permasalahan orang lain. Wanita itu seperti tahu benar tabiat anak sulungnya itu.

“Wira mohon, sekali ini, Bu.”

“Ibu pikir, yang kemarin itu adalah ‘sekali ini’ juga. Tapi apa nyatanya? Lagi-lagi kamu bilang sekali ini. Besok-besok juga bilang sekali ini. Ibu nggak ngerti apa yang ada di benak kamu. Dunia ini bukan tanggung jawabmu, Wira. Banyak orang sengsara, tapi itu bukan salahmu. Tak ada juga orang yang akan menyalahkanmu karena kamu tidak menolong mereka,” sergah sang ibu dengan wajah serius.

Wira tercekat dengan kalimat ibunya itu. Pemuda itu tak menyangka sang ibu mengatakan itu kepadanya, setelah sejak kecil dia dididik untuk berempati pada orang, bersikap welas asih kepada orang lain. Wira menguncal napas, seperti tidak percaya bahwa sang ibu akan mengucapkan kalimat itu. Kalimat-kalimat itu tak pernah cocok untuk menggambarkan sosok orang yang mengucapkannya. Ibu tak pernah seperti itu.

“Hanya tiga hari, Bu. Wira berjanji akan segera mencarikan tempat lain sebagai tempat tinggal mereka,” kata Wira.

Prangggg!

Wira terlonjak. Mug teh yang berada di sebelah tangan ibunya tiba-tiba jatuh dan pecah membentur lantai semen. Berserakan dalam belasan beling kecil-kecil. Wira memandang ibunya yang tidak terlihat kaget. Wira bingung bagaimana mug itu bisa jatuh. Pemuda itu langsung bangkit dari duduknya, kemudian membungkuk memunguti pecahan beling dari mug itu.

“Letakkan. Biar nanti Ibu bersihkan,” perintah sang ibu. Nada suaranya tegas. Wira terdiam sesaat untuk kemudian batal membersihkan pecahan mug itu. Wira merasakan ada amarah dalam kalimat terakhir ibunya. Jangan-jangan mug itu pun sengaja disenggol oleh ibunya agar jatuh, batin Wira.

“Adma butuh uang untuk bayar kunjungan industri. Listrik harus dibayar. Beras tinggal satu liter dan biasanya tanggal segini gas juga akan segera habis. Ibu hanya pegang uang Rp90.000 bayaran jasa jahit Bu RT. Ini juga buat beli bahan makanan besok,” ujar ibu dengan datar.

Wira terdiam seperti menemukan muara masalah yang membuat sang ibu tak setuju langkah Wira menolong anak-anak itu. Pemuda itu membetulkan duduknya untuk mendapatkan posisi terbaik, lalu meraih tangan kanan ibunya, menggenggam sesaat sebelum kemudian berucap, "Uang untuk kunjungan industri Adma sudah saya lunasi, Bu ...."

Wira mengambil dompet dari saku belakang celananya, lalu mengambil beberapa lembar uang, kemudian diserahkan kepada sang ibu. “Ini untuk bayar listrik, beli beras dan bahan makanan, sekalian untuk jaga-jaga beli gas kalau habis. Uang punya ibu dari hasil menjahit disimpan saja untuk jaga-jaga keperluan lain,” sambung Wira.

Sang ibu terdiam. Lalu perlahan tangannya menerima uang pemberian Wira. Pemuda itu mengangguk seperti meyakinkan ibunya bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa dia, seperti janjinya, siap menjadi tulang punggung keluarga itu.

Wira meneguk kopi yang disediakan ibunya tadi. Lalu memandang lekat ke arah wajah ibunya.

“Ibu ingat, dulu waktu Wira SD, Ibu sering mengajak belanja ke pasar sepulang menjemput dari sekolah. Wira sering melihat Ibu memberi uang kepada seorang pemuda keterbelakangan mental yang sering duduk di pojokan dekat pedagang buah. Tak hanya sering, sepertinya Ibu selalu memberinya uang. Waktu Wira tanya kenapa Ibu selalu memberi uang kepadanya, Ibu bilang karena mungkin Ibu satu-satunya orang yang membuat bisa mewujudkan makan siang bagi pemuda itu. Ibu tak peduli apakah Ibu punya uang lebih atau tidak, tapi Ibu selalu melakukan itu,” Wira tercekat di ujung kalimat.

Mata sang ibu menatap Wira. Tak ada reaksi lain.

“Ibu juga selalu meletakkan mangkok plastik berisi air di sudut halaman depan, mengisinya setiap habis, atau mengganti dengan yang baru esok hari. Sampai sekarang pun Ibu melakukan itu. Awalnya, Wira pikir itu sesajen. Tapi Ibu bilang bukan. Ibu bilang, siapa tahu ada ayam tetangga atau kucing atau anjing liar lewat dan mereka haus, air itu untuk mereka ….”

Lihat selengkapnya