Tabu di Tanah Tuba

Ariyanto
Chapter #4

Kisah Pelik Suciyati

Wira mengurangi kecepatan mobil saat memasuki jalan desa, lebih lebar dari jalan setapak namun tak bisa disebut jalan raya juga. Anjani sejak awal bertindak selaku navigator memberi arahan kepada Wira kemana harus mengarahkan mobil, sesuai instruksi dari Handoko melalui handphone.

Mereka melewati pematang di kanan kiri jalan yang terlihat tidak menghijau. Beberapa lahan tampak ditanami, namun sebagian besar tampak kering kerontang. Bulan Oktober adalah bulan musim tanam kemarau, yang mengandalkan ketersediaan air di irigasi. Musim tanam utama baru akan dilakukan bulan November hingga Maret di mana hujan mulai turun.

Terik matahari menjelang siang cukup menyengat, membuat Wira beberapa kali memicingkan mata saat mengemudikan mobil. “Lurus sekitar 300 meter melewati tengah-tengah pematang sawah, lalu di kanan jalan akan terlihat gapura desa warna hijau, belok masuk. Lurus, nanti sudah masuk ke lokasi. Kanan jalan akan terlihat kantor kepala desa. Parkirkan mobil di sana, ketemu Pak Lurah Hardjo Semito,” Anjani membacakan pesan dari Handoko.

Pukul 10.11 WIB, mobil melaju pelan dan hati-hati. Hingga keduanya menemukan gapura desa warna hijau. Wira membelokkan mobil seperti arahan Anjani. Tak sampai 5 menit, mereka melihat bangunan yang terlihat lebih menonjol di banding rumah di sekitarnya. Papan nama berbahan kayu yang sudah usang terpasang di pagar tembok setinggi kurang lebih satu meter, bertuliskan nama desa.

“Ini kantor kepala desanya. Kok banyak bener orang, ya?” gumam Anjani. Perasaan gadis itu mulai tak enak. Di halaman kantor lurah tampak banyak warga yang didominasi laki-laki. Beberapa berdiri sambil ngobrol, sebagian tampak duduk-duduk.

“Mungkin antre untuk ambil sembako. Atau memang kedatangan kita sudah ditunggu oleh mereka,” celetuk Wira. Pemuda itu menghentikan mobilnya di luar pagar kantor kelurahan.

“Apa masuk aja, ya? Kata Mas Handoko tadi disuruh langsung masuk parkir di dalam saja,” kata Anjani.

Belum juga keduanya memutuskan akan masuk ke halaman atau parkir di luar, seseorang mendatangi mereka. Laki-laki bertubuh gempal dengan jambang lebat. Gayanya urakan, langsung menggebrak kap mobil depan.

Here we go … sepertinya kita disambut jagoan kampung,” ujar Anjani.

“Tetap tenang, jangan terpancing emosi. Aku turun duluan,” ujar Wira.

Pemuda itu membuka pintu mobil, lalu mendatangi laki-laki yang berdiri di depan mobil. Wira tersenyum dan menampakkan gestur tubuh sopan, lalu mengulurkan tangan. Sayangnya, uluran tangan Wira tak bersambut hingga pemuda itu buru-buru menarik lagi tangannya.

“Selamat siang, Pak. Perkenalkan saya Wira, kami ingin bertemu dengan Pak Lurah, apakah beliau ada ya?” tanya Wira dengan kalimat dibuat sesopan mungkin, padahal hatinya pengen menonjok laki-laki yang berdiri di depannya.

“Kalian siapa? Mau apa? Itu temannya suruh keluar,” balas laki-laki itu dengan ketus. Wira memberi tanda kepada Anjani untuk keluar dari mobil.

“Mohon maaf, Bapak … kami dari Solo, sudah ada janjian bertemu dengan Pak Lurah. Untuk keperluan apa, kami hanya bisa menyampaikan kepada Pak Lurah,” kata Wira dengan nada rendah tapi tegas.

Wira tak mau berkata-kata lebih banyak. Dipandanginya laki-laki gempal yang ada di depannya itu. Mengenakan kaos bergambar tengkorak bertuliskan Sepultura, celana pendek dengan kantong di kanan kiri, menyandang tas selempang, serta sepatu kusam yang seharusnya berwarna putih. Pakaian dan fisiknya tidak serasi, tua tapi bergaya sok anak muda.

“Gimana?” tanya Anjani.

“Yuk, kita masuk ke dalam … permisi ya, Pak … kami ke dalam dulu,” Wira langsung melangkah meninggalkan laki-laki yang mengadang dia. Anjani mengikuti dari belakang. Laki-laki itu menguntit Wira dan Anjani, namun keduanya tak menghiraukan. Wira dan Anjani menyeruak di antara kerumunan beberapa warga, langsung menuju ke meja di mana terlihat anggota Hansip berjaga. Kehadiran Wira dan Anjani menjadi magnet bagi warga yang berkumpul di depan kantor kepala desa tersebut.

Setelah menemui anggota Hansip yang berada di depan, Wira dan Anjani dipersilakan masuk ke ruangan Pak Lurah. Ekor mata Wira masih menangkap sosok laki-laki gempal itu masih berdiri di luar sana mengamati mereka. Wira dan Anjani disambut Pak Lurah dengan ramah. Setelah mempersilakan keduanya duduk, Pak Lurah berdiri dan menutup pintu ruangannya.

“Mas Wira dan Mbak Anjani? Selamat datang di desa kami,” Pak Lurah membuka obrolan.

“Terima kasih atas waktunya, Pak. Kehadiran kami untuk menjemput kedua anak perempuan dari almarhumah Ibu Suciyati,” terang Wira.

“Saya sudah mendengar semuanya dari Pak Camat. Terima kasih sudah mau datang. Kalau boleh tahu, Anda berdua tahu soal dua anak ini dari mana, ya?"

Wira terdiam. Melirik ke arah Anjani. Gadis itu menyepak kaki Wira seperti memberi kode. Sepertinya Handoko lupa mem-briefing soal ini. Dari mana mereka tahu soal kedua anak ini? Handoko yang mendatangi kami, batin Wira. Pertanyaan dari Pak Lurah ini harus hati-hati dijawab karena menyangkut keselamatan Handoko.

“Dari dinas, Pak,” sahut Anjani cepat.

Pak Lurah terdiam sesaat, “Dinas? Pemerintah kota?”

“Iya, Pak … jadi saya dari Yayasan Bantu Jiwa selama ini fokus pada edukasi ke masyarakat terkait HIV/AIDS, termasuk melakukan pendataan di sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Salah satunya kami memiliki hubungan baik dengan dinas-dinas kesehatan di kabupaten/kota, bila memang kehadiran kami dibutuhkan, kami akan bergerak membantu,” ujar Anjani panjang lebar. Giliran Wira menyepak kaki Anjani.

“Tapi kan setahu saya banyak penderita HIV/AIDS, kenapa tiba-tiba ke desa kami … dan kok kebetulan lagi ada masalah dengan penolakan warga? Terus bisa ya ngurusin pendataan sampai lintas provinsi?” kejar Pak Lurah.

“Oh, jadi begini, Pak. Kami lebih concern terhadap kasus-kasus tertentu, karena memang kami ini bergerak secara independen tidak semua kasus bisa kami bantu. Di kasus ini, kami merasa bahwa kedua anak ini perlu mendapat bantuan perlindungan mengingat tidak memiliki orangtua dan hanya diasuh kakek neneknya yang sudah tidak produktif. Kedua anak ini masih berhak atas kehidupan yang layak dan mereka berhak mendapatkan masa depan yang baik. Lingkup kerja kami bahkan bisa satu Indonesia,” Anjani berbicara panjang lebar.

Lihat selengkapnya