Mobil yang dikendarai Wira dan Anjani berjalan pelan dari arah kantor kepala desa menuju ke rumah Suciyati. Di depan, Pak Lurah dan beberapa perangkat desa memandu dengan menggunakan sepeda motor, sementara di belakang mobil tampak rombongan warga desa mengikuti. Itu serupa arak-arakan karnaval hanya tak terlihat kegembiraan di sana. Kebanyakan mereka mengikuti dengan sepeda onthel, sebagian lain naik sepeda motor termasuk Pram Bojel. Laki-laki itu sesekali berseru memompa semangat warga menuntut dua anak perempuan Suciyati segera keluar dari desa itu.
"Usirrr!" seruan itu teruncal dari mulut Pram Bojel beberapa kali.
“Entah setan mana yang merasuki mereka. Ini benar-benar sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan akan terjadi di tahun 2015. Luar biasa. Aku kasihan karena warga desa ini seperti kerbau dicucuk hidungnya, nurut saja dengan si provokator itu … tetapi aku juga merasakan hawa kejahatan manusia sudah memenuhi desa ini. Lihat mata mereka saat berteriak ‘usir anak-anak itu’ … gila!” Wira geleng-geleng kepala. Anjani menangkupkan telapak tangannya ke bibir.
“Wir, aku nggak tahu apakah aku akan kuat nanti. Semoga aku nggak nangis, ya. Ini sumpah, kayak kita berada di zaman kegelapan,” ujar Anjani dengan bibir bergetar. Wira melepaskan tangan kiri dari kemudi mobil, lalu meraih tangan kanan Anjani dan menggenggam erat.
“Kita akan selesaikan ini dengan baik. Percaya padaku,” tegas Wira.
Rombongan Pak Lurah dan perangkat desa tampak berbelok ke kiri. Hanya beberapa meter mereka sudah tiba di rumah Suciyati yang ternyata telah dipenuhi warga. Tampak juga beberapa anggota Babinsa dan aparat kepolisian. Wira menghentikan mobil lalu turun, kemudian mengikuti Pak Lurah. Pimpinan tertinggi desa itu kemudian mengenalkan Wira dan Anjani kepada anggota Babinsa dan aparat kepolisian.
Wira menatap rumah sederhana berdinding tembok separuh, lalu separuhnya adalah papan kayu. Di depan rumah itu terdapat pohon-pohon pisang dan sebuah pohon jambu. Sebagian pagarnya adalah tanaman teh-tehan, sebagian lainnya dibiarkan terbuka. Di halaman depan terdapat dua tiang yang dihubungkan dengan kawat sebagai jemuran. Wira mendekat ke arah pintu rumah, lalu mengucapkan salam. Bagian dalam rumah itu sudah keramik, mungkin itu salah satu wujud hasil kerja Suciyati di Malaysia. Anjani merepet ke arah Wira. Keduanya dipersilakan duduk di ruang tamu sederhana.
“Perkenalkan, kami dari Yayasan Bantu Jiwa, Bapak. Saya Anjani dan teman saya ini Wira, akan membawa anak-anak ini untuk kami cek kesehatan di rumah sakit di Solo, kemudian akan kami tempatkan di shelter supaya kondisinya tenang. Kami akan berkoordinasi dengan pemerintah Kediri untuk mencari solusi lebih lanjut bagi hidup mereka,” terang Anjani.
“Usir … usir … usir ... usirrr!” suara teriakan dari luar masih terdengar, ditingkahi dengan tepukan tangan.
Wira dan Anjani mengabaikan teriakan-teriakan itu. Keduanya mengamati kondisi rumah itu. Dinding temboknya banyak yang belum diplester, beberapa bagian masih terlihat batu bata merahnya itu terlihat cukup besar. Tak banyak perabotan rumah tangga di sana. Lantai rumah itu bagian depan sudah berkeramik, namun ternyata di bagian dalam baru sebagian yang berkeramik, sisanya masih semen biasa.
Di sudut kiri ruangan itu terdapat meja kecil mepet ke tembok, yang di atasnya terdapat televisi tabung tak seberapa besar, mungkin ukuran 14 inch. Di sudut lain, terdapat sebuah dipan tanpa kasur, yang ditutup tikar pandan di atasnya. Di sanalah seorang wanita tua duduk bersama dua anak perempuan. Dua lengan wanita tua itu merengkuh pundak dua anak perempuan yang ada di kanan kirinya, seperti sayap kepak burung yang ingin melindungi anak-anaknya.
Pak Lurah mempersilakan Wira dan Anjani memulai menyampaikan tujuan kedatangannya. Di depan keduanya, sudah duduk laki-laki tua dengan wajah penuh kerut dan air muka datar. Peci hitam menutup kepalanya dengan posisi agak miring.
“Pak Sumo Martono, ini saya kenalkan Mas Wira Himawan dan Mbak Anjani … umm Nindita, dari Solo yang akan membantu Pak Sumo dan Bu Marjiyem untuk merawat Nuraini dan Ernasari. Jadi Nuraini dan Ernasari ini kan sakit … tetapi sebenarnya masih bisa memiliki masa depan yang panjang kalau mau. Mas dan Mbak ini yang akan membantu, gimana caranya supaya bisa tetap sehat dan insha Allah malah nanti bisa sekolah. Begitu kan, Mas Wira dan Mbak Anjani?” Pak Lurah melempar pandang ke arah Wira dan Anjani.
Pak Sumo terdiam dan memandang kosong ke arah depan.
“Benar, Pak Sumo. Jadi ini nanti saya akan membawa Nuraini dan Ernasari ke Solo, lalu akan kami lakukan pengecekan kesehatan di RS Moewardi, biar bisa ditentukan pengobatan apa yang bisa diterapkan. Selain itu, nanti akan kami carikan tempat tinggal yang layak dan bisa sekolah,” terang Anjani.
Suasana hening sesaat.
“Saya tidak mau cucu-cucu saya disia-sia orang. Dihina orang. Biar mereka di sini saya urus sampai mati,” ujar Pak Sumo dengan suara datar.
“Lho, bukan begitu Pak Sumo. Justru di Solo nanti cucu-cucu Pak Sumo akan diperlakukan dengan baik. Sangat baik. Mereka bisa bermain, bisa bersekolah, tetap sehat, selain itu … Pak Sumo dan Bu Marjiyem tetap bisa mengunjungi mereka setiap saat kalau mau,” rayu Pak Lurah.
Raut muka Pak Sumo terlihat berubah. Wajahnya tak lagi tegang. Perlahan laki-laki tua itu menoleh ke arah Pak Lurah, terdiam sesaat. Pak Lurah mengangguk seperti meyakinkan bahwa semua ucapannya adalah benar. Pak Sumo lalu mengalihkan pandang ke arah Anjani, lalu berganti ke arah Wira.
“Saya jamin, cucu-cucu Pak Sumo akan hidup lebih baik. Tak ada orang yang akan menyakitinya. Saya tidak akan membiarkan orang menyakiti mereka,” kata Wira menegaskan.
Pak Sumo tiba-tiba berdiri, lalu mendekat ke arah Wira, lalu merangkul erat pemuda itu. Sangat erat hingga Wira sedikit terhuyung. Pemuda itu membiarkan laki-laki tua itu melepaskan semua emosinya. Tak terdengar tangis di sana, tapi Wira memastikan sebagian beban laki-laki tua itu telah terangkat.
“Kalau Pak Sumo dan Bu Marjiyem mau ikut kami, boleh. Nanti semalam di Solo, besoknya bisa pulang naik bus. Bagaimana?” tawar Wira.
Anjani menoleh ke arah Wira seperti mempertanyakan ide itu. Wira membalas tatapan Anjani dengan senyum, yang menandakan semua akan baik-baik saja.
“Boleh?” tanya Pak Sumo.
“Boleh, Pak. Boleh kan, Pak Lurah?” tanya Wira ke Pak Lurah yang dijawab dengan anggukan.
“Sekarang Bapak dan Ibu siap-siap, kita akan segera berangkat,” kata Anjani.