Tabu di Tanah Tuba

Ariyanto
Chapter #6

Rumah Aman

Dua orang gadis kecil itu tertidur di tikar di ruang tengah rumah Wira, berdesakan diapit kakek dan neneknya. Hawa panas dan sumpek seperti tak mereka hiraukan. Wira tak punya pilihan lain selain sementara menempatkan mereka berempat di tempat seadanya. Rumah Wira hanya rumah petak dengan lebar 3,5 meter kali panjang ke belakang 10 meter, kurang dari sepertiga bagiannya digunakan sebagai ruang tamu dengan meja kursi seadanya. Di ruang tengah biasanya Wira dan Adma tidur berdempetan pas di badan dengan beralas tikar pandan di depan meja kecil tempat menaruh televisi. Untuk ibunya, Wira menyekat sedikit ruangan untuk kamar dengan dipan pendek dan kasur tipis. Baru bagian belakang ada kamar mandi berdampingan dengan dapur secuil yang hanya cukup untuk satu kompor dan rak piring sederhana.

Malam ini Adma rela mengungsi ke tempat Pakdenya untuk numpang tidur, sementara Wira akan tidur di ruang tamu dengan menggabungkan dua bangku sebagai tempat tidurnya. Rencananya, dua gadis kecil itu, yaitu Nuraini Putri dan Ernasari Putri, hanya akan menginap semalam di rumah Wira dan besok akan ditempatkan di kantor Yayasan Bantu Jiwa, sementara kakek dan neneknya akan kembali ke Kediri.

Di depan rumahnya, Wira masih berbincang dengan Anjani tentang rencana apa yang akan dijalankan berikutnya untuk dua anak perempuan itu. Ini bukan hal yang mudah, karena pemuda 29 tahun, yang tak memiliki pengalaman mengasuh anak, mendadak harus mengurusi dua anak kecil sekaligus. Itu pun bukan mengurusi yang sehari dua hari, tetapi mungkin ini akan menjadi komitmen jangka panjang. Mungkin tak ada orang muda segila dia saat ini.

Menampung dan mengurusi dua anak perempuan dengan HIV/AIDS itu bagi Wira serupa menato wajahnya. Tak ada ruang untuk mengurungkan niat begitu hal itu sudah dilakukan. Pemuda itu sadar benar dengan apa yang dilakukannya.

Terkadang, saat kondisi buntu dan penuh masalah, Wira memilih menyelesaikan setiap masalah satu per satu dan hari demi hari. Masalah yang terjadi sekarang yang harus diselesaikan, besok adalah urusan lain. Kelar dengan urusan mengungsikan dua anak perempuan itu, sekarang saatnya memikirkan akan menampung mereka di mana.

“Maaf aku tidak bisa menempatkan mereka di rumahku, karena aku terikat perjanjian dengan Papa, bahwa aku boleh aktif di yayasan selama tidak mencampurkan urusan yayasan dengan urusan rumah,” kata Anjani.

“Nggak apa-apa. Aku paham. Terima kasih sudah mau berjuang membantuku sejauh ini,” kata Wira.

Anjani tersenyum, “Dengan senang hati. Besok kupastikan supaya mereka bisa menempati kantor baru Yayasan Bantu Jiwa. Bagian belakang sebenarnya sudah selesai, tapi ya begitu … kosong melompong,” kata Anjani.

Menurut Anjani, kantor baru Yayasan Bantu Jiwa ini sehari-harinya akan ada penjaga satu orang dan asisten rumah tangga satu orang. Asisten rumah tangga ini bisa menemani dan mengasuh Nuraini dan Ernasari untuk sementara. “Idealnya ada shelter khusus bagi mereka, tetapi kita akan lakukan bertahap. Untuk sementara, aku bantu untuk biaya hidup mereka dari dana yayasan. Tetapi kita harus mulai memikirkan cara untuk mengakses pendanaan dari APBD melalui dinas kesehatan, karena bagaimana pun anak-anak ini adalah tanggung jawab negara dan pasti ada anggaran untuk itu. Cuma, kayaknya ini bakal ribet saling lempar antarpemerintah daerah Kediri dan Solo,” terang Anjani.

“Gila, ya?” celetuk Wira.

“Apanya?”

“Aku bisa berurusan dengan hal begini. Dengan hidup mati anak orang,” ujar Wira tersenyum getir.

“Aku juga heran bagaimana kamu rela mempersulit hidupmu dengan persoalan ini … hahaha. Tapi menurutku, kamu orang terpilih. Tuhan tidak salah orang, kok,” respons Anjani.

“Hahaha, aku dipilih Pandu tepatnya. Sebenarnya aku lebih concern  di komunitas perparkiran. Beberapa kali bahkan diwawancara koran soal problem dunia perparkiran kota. Nggak tahu gimana malah kenal sama Pandu dari LSM Cahaya Hati karena dia sering nongkrong di lahan parkir yang kujaga. Terus ya itu … malam-malam ada kasus bayi ditinggal di Puskesmas oleh ibunya, Pandu ambil alih masalah itu tapi bingung mau naruh di mana. Eh, aku yang kena … nggak tega kan lihat bujangan seperti Pandu ngurus bayi, sementara orang di yayasan dia juga sama aja. Akhirnya sementara dibawa ke rumah ini, diasuh Ibuku tiga hari sebelum kemudian dilimpahkan ke yayasan di Semarang. Ibu juga tidak kalau bayi itu kena HIV/AIDS awalnya, jadi kayak Ibu pengen mengadopsinya gitu. Tapi setelah dijelaskan bahwa bayi itu butuh perawatan khusus, akhirnya Ibu mengerti,” ujar Wira panjang lebar.

“Hmmm … aku dengar cerita itu dari Pandu. Oya, Handoko tahu kamu dari mana? apakah dari Pandu juga?”

“Katanya rekomendasi orang dari dinas perlindungan perempuan anak di kotanya. Mungkin dari orang yang pernah baca berita tentang aku. Soalnya waktu itu beritanya juga ramai di media dan ada fotoku di media,” imbuh Wira.

Anjani memandang Wira dengan tersenyum, lalu mengalihkan pandang ke arah jalan setapak di depan rumah Wira. Meskipun malam sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB, tapi gang di depan rumah Wira masih banyak warga berlalu lalang. Sesekali Wira menyapa warga yang lewat.

“Kamu yakin nggak mau dibikinin teh panas?” tawar Wira.

Lihat selengkapnya