Sambil menunggu kedatangan Anjani, Wira mengulik sosok Pram Bojel dari Pak Sumo. Laki-laki tua itu dengan semangat menceritakan siapa sebenarnya Pram Bojel. Dia adalah laki-laki yang menyukai Suciyati sejak keduanya masih duduk di bangku akhir sebuah SMP yang sama. Kehidupan di desa terlalu sempit, ketika ada anak sebaya, maka dapat dipastikan akan sekolah di SD, SMP, hingga SMA yang sama. Karena memang dalam satu kelurahan hanya ada satu sekolah SMP.
Di bangku SMP kelas 3, Pram Bojel satu kelas dengan Suciyati setelah sebelumnya di kelas 1 dan 2 beda kelas. Yang awalnya hanya bisa menganggumi, Pram Bojel mulai bisa melakukan pendekatan saat satu kelas. Pram yang sudah terlihat badung sejak kecil kerap main ke rumah Suciyati, atau hanya sekadar menemani Suciyati pulang sekolah hingga tiba di depan rumah.
Sepertinya, Suciyati adalah cinta pertama dan cinta matinya Pram, hingga laki-laki itu selalu mengejar-ngejar Suciyati. Sayangnya, Suciyati tidak menyukai laki-laki itu karena Pram terkenal sebagai pemuda ugal-ugalan, kasar, biang onar, nyaris selalu ada di setiap keributan yang terjadi di desa itu.
“Dia selalu bikin ribut. Suciyati merasa malu bila menerima cinta Pram. Tapi sebenarnya kalau sama Suciyati, Pram itu nggak kasar dan mau mengalah. Sama saya juga perilakunya sopan. Itu dulu ya, sebelum semua persoalan ini terjadi,” kisah Pak Sumo.
Suciyati pernah mengeluh kepada Pak Sumo, bahwa dirinya malu sering diolok-olok teman-temannya karena Pram sering datang ke rumah. Dicintai seorang begundal tak pernah membuat Suciyati bisa berbangga diri. Namun, di sisi lain susah untuk melarang Pram tidak datang ke rumah, khususnya saat malam minggu.
“Pernah itu, ada perempuan datang ke rumah saat Pram mengunjungi Suciyati. Sudah itu, geger … perempuan itu memaki-maki Suciyati sebagai perebut pacar orang. Lha kan ya aneh … wong anak saya kan yang didatangi, bukan yang mau sama Pram. Wis dadi rame, sampai kemudian Pram menampar perempuan itu keras … perempuannya pingsan. Geger lagi, urusan polisi lagi,” tutur Pak Sumo.
"Itu pas SMP juga?"
"Bukan. Itu sudah lulus SMP. Kan waktu Pram sudah SMA dia masih ngejar Suciyati."
Wira bisa membayangkan bagaimana situasi yang diceritakan Pak Sumo itu mengingat dia juga pernah berurusan dengan si begundal Pram Bojel kemarin.
“Lha Suciyati nangis, malu. Terus anak saya itu nyerocos kalau dia malu didatangi Pram terus. Dia ngaku kepada Pram, kalau teman-temannya suka mengolok-olok karena dia disukai Pram. Makin geger kan … besoknya, itu teman-teman Suciyati didatangi Pram satu-satu, dimaki-maki dan diancam dipukul. Padahal Suciyati tidak menyebut nama … walhasil ada yang salah alamat juga. Benar-benar penyakit,” Pak Sumo geleng-geleng kepala di ujung kalimatnya yang berapi-api.
Tak ada yang tahu kenapa Pram memiliki tabiat buruk seperti itu. Misalnya, kenapa dia kadang menjadi penadah motor curian padahal di sisi lain dia dari keluarga yang berada. Pram bisa lolos dari proses hukum karena orangtuanya membayar uang jaminan. Menurut Pak Sumo, tabiat Pram yang buruk sudah terlihat sejak kecil. Pak Sumo ingat sekali, saat kecil Pram Bojel itu sangat nakal. Orang-orang di desa yang memiliki anak seumuran Pram sering melarang anaknya mendekati atau bermain dengan Pram karena takut disakiti.
"Mungkin dia kurang perhatian karena orangtuanya sering tidak ada di rumah. Bapak dan ibunya pedagang baju yang sering ke luar kota untuk berdagang. Mereka pedagang yang sukses, jadi ya sebenarnya Pram ini tidak kekurangan uang," lanjut Pak Sumo.
Wira seperti terbius dengan cerita Pak Sumo. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 07.50 WIB. Anjani belum juga menampakkan batang hidungnya.
“Tap sekarang saya kok berpikir ….”
Wira menoleh ke arah Pak Sumo, menyimak kalimat tanggung itu. Menunggu Pak Sumo melanjutkan kalimatnya.
“Apakah mungkin … dulu lebih baik Suciyati menerima lamaran Pram. Pram itu lembut dan melindungi kalau sama Suciyati. Dia juga menawarkan rumah bila Suciyati mau menerimanya. Masalahnya cuma satu, anak saya itu malu punya suami tukang bikin masalah. Maklum, waktu itu anak saya masih bau kencur, diolok temannya juga sudah nangis,” kata Pak Sumo.
Mungkin Suciyati juga tak pernah mencintai Pram, batin Wira.
“Sudah, Pak. Namanya bukan jodoh. Garis nasib orang kan memang sudah ada yang ngatur. Nggak usah berandai-andai, jalani saja dengan ikhlas,” tegur Bu Marjiyem.
Wira memandangi kedua orangtua itu. Iya, kalau Suciyati menerima lamaran Pram Bojel, mungkin cerita hidupnya akan berbeda. Tapi satu hal, tak akan ada wajah-wajah cantik dua anak perempuan ini di keluarga itu. Mungkin diganti wajah anak-anak lain, tapi tidak dua bocah ini. Wira jadi mulai bisa meraba kenapa Pram Bojel jadi provokator pengusiran dua anak Suciyati. Kemungkinan motifnya adalah balas dendam karena cintanya tak bersambut.