“Iya, satu malam lagi. Aku janji, besok semua perlengkapan tidur di kantor yayasan sudah ready. Tapi aku juga butuh tahu keputusan tentang penawaranku. Tidak bisa kamu serahkan tanggung jawab ini sepenuhnya ke aku dan yayasan. Kamu terlibat sejak awal dan aku mau kamu memiliki peran untuk mengawal kasus ini, setidaknya hingga mereka sudah memiliki tempat tinggal dan hidup yang lebih jelas. Jadi keputusanmu bagaimana?” desak Anjani.
Wira terdiam sambil terus fokus menyetir. Anjani mendesaknya untuk memutuskan apakah mau menerima penawaran bekerja untuk yayasan atau tidak. Wira seperti dihadapkan pada situasi yang dia belum yakin. Seperti pikirannya kemarin, ketika dia memutuskan untuk aktif di yayasan, bekerja di sana dengan mendapatkan upah, maka dia seperti menandatangani kontrak bahwa dia akan melakukan hal-hal seperti ini lebih sering dan bahkan wajib. Hati kecilnya menolak untuk membantu orang tapi berbayar.
“Lakukan demi mereka berdua, bukan demi yayasanku dengan program-programnya,” kejar Anjani.
Wira melirik ke arah spion, dilihatnya dua gadis kecil yang tampak tertidur di jok belakang. Wajah-wajah anak yang tak beruntung, tanpa ayah ibu, tanpa didampingi keluarga, berada di sebuah mobil dengan dua orang asing yang dua hari sebelumnya belum pernah mereka kenal. Dan di dalam tubuh mereka terkandung virus yang bakal meredupkan masa depan mereka bila tak segera ditangani. Virus yang tak pernah mereka minta akan berada di dalam tubuh mereka. Masalahnya bahkan layaknya butiran debu dibanding masalah dua gadis kecil itu.
“Baiklah, aku coba,” jawab Wira lemah.
“No … no … aku tidak mau seperti itu. Ini perkara hidup mati orang. Kamu harus memiliki komitmen kuat dan bukan hanya coba-coba,” sambar Anjani gusar. Gadis itu menegakkan punggungnya, menoleh ke arah Wira seperti menunggu ketegasan pemuda itu.
“Oke, aku bersedia,” tegas Wira.
“Baik. Kita akan mulai per tanggal besok. Aku sudah menghitung-hitung kira-kira gajimu berapa yang harus kuajukan ke yayasan. Mungkin sekitar ….”
“Tolong … jangan berbicara uang dulu?” pinta Wira.
Anjani langsung terdiam dan melakukan gestur seperti meminta maaf. Tiga tahun mengenal pemuda ini, gadis itu kerap lupa bahwa Wira adalah pemuda paling keras kepala dan idealis yang pernah dia kenal. Kadang-kadang Anjani berandai-andai … andai pemuda di sampingnya itu lebih santai dalam menjalani hidup. Andai pemuda di sampingnya itu sesekali mengendorkan idealismenya. Andai pemuda di sampingnya ini tak seserius itu. Tetapi itu ibarat mencari jarum yang jatuh di jerami, susah sekali.
Dalam sadarnya, kadang Anjani mengerti bahwa dia tak bisa membandingkan dirinya dengan Wira, karena hidup mereka berangkat dari situasi yang jauh berbeda, bak langit dan bumi. Seumur hidup Anjani, dia tidak pernah mengalami hidup yang sulit. Masa kanak-kanak yang bahagia dan terpenuhi semua kebutuhannya. Masa sekolah yang menyenangkan, di mana hidup adalah hanya soal belajar untuk meraih nilai terbaik, bermain dengan teman satu geng, makan-makan, semua yang dia minta tersedia. Saat lulus kuliah, papanya menghadiahkan sebuah mobil sedan, sebelum dia kemudian bekerja dan menjual mobil itu untuk upgrade ke mobil Suzuki Ignis yang dinaikinya saat ini. Papanya bahkan awalnya melarang dirinya bekerja di yayasan itu dan menyuruhnya melanjutkan usaha jual beli berlian.
Baru sepenggal kisah hidupnya saja sudah jauh berbeda dengan hidup Wira yang selama ini dia dengar sendiri dari mulut pemuda itu. Rumah Wira bahkan hanya seluas kebun di samping rumah Anjani. Kamar mandi di rumah Anjani bahkan lebih besar dari ruang tamu di rumah Wira. Jadi, Anjani tak bisa membandingkan hidupnya yang serba kecukupan dengan hidup Wira yang serba mepet. Anjani pikir, kalau dirinya di posisi Wira, pasti dirinya juga nggak bisa sesantai ini menjalani hidup.
“Ada perwakilan kelurahan, Pak RW, Pak RT, serta beberapa warga di rumah. Ibu sangat khawatir karena beliau tidak bisa menjelaskan apapun kepada mereka. Lebih tepatnya, beliau khawatir apa yang disampaikannya salah. Keluarga kami tak pernah sekalipun memiliki masalah dengan warga,” kata Wira.
“Aku paham. Nanti aku bantu menjelaskan,” Anjani mencoba menenangkan.
Mobil yang mereka tumpangi mendekati ujung gang rumah Wira. Jalan setapak di depan rumah Wira memang tidak bisa dilalui mobil. Mungkin cukup untuk lewat satu mobil, tetapi warga sepakat jalan itu tidak boleh dilalui mobil dengan memasang dua besi penghalang di kanan kiri mulut gang. Tidak terlalu bermasalah karena memang tak ada warga di area itu yang memiliki mobil.
Wira menghentikan mobil, mematikan mesin, lalu menghela napas dalam-dalam. Pemuda itu menengok ke jok belakang dan melihat dua anak perempuan itu masih tertidur. “Seperti biasa, aku gendong Nuraini, kamu gendong Ernasari,” usul Wira. Tapi baru juga mereka membuka pintu, kedua gadis kecil itu terbangun. Alhasil, Wira dan Anjani batal menggendong.
“Sudah sampai di rumah Budhe Winarti?” tanya Nuraini. Wira tersenyum mengangguk.
Mereka berempat kemudian berjalan masuk ke dalam jalan setapak itu, sekitar 100 meter. Dari kejauhan Wira telah melihat sejumlah warga berdiri di depan rumahnya, pasti memang ruang tamu rumahnya tak cukup untuk menampung mereka. Wira tetap mencoba tenang dan menggandeng tangan Nuraini. Dia tidak ingin situasi di Kediri di mana warga seperti berdemo, berteriak-teriak mengusir dua anak itu, terulang di sini yang justru akan membuat Nuraini dan Ernasari makin trauma.
Sekitar lima meter dari pintu rumahnya, kerumunan itu tiba-tiba tersibak dengan sendirinya. Wira paham situasi, warga seperti tak ingin menyenggol atau tersentuh tubuh Nuraini dan Ernasari. Wira tak sepenuhnya menyalahkan warga karena mungkin memang mereka tidak mengerti sama sekali soal HIV/AIDS.