Tabu di Tanah Tuba

Ariyanto
Chapter #9

Janji Handoko

Peristiwa pemukulan Pak Gunadi oleh Wira menjadi gosip terpanas di kampung pemuda itu. Beberapa warga menganggap Wira salah, bahkan perlu dilaporkan ke polisi, beberapa lainnya menganggap itu seru namun tak berani berpihak, beberapa memberikan pujian bagi Wira karena memang Pak Gunadi kerap menjadi sumber masalah di kampung itu. Tapi persoalan itu bisa diselesaikan saat itu juga mengingat hampir semulai elemen masyarakat setingkat kelurahan ke bawah hadir di sana. Masalah berakhir damai, namun memiliki konsekuensi bagi Wira yaitu dia harus menanggung biaya pengobatan Pak Gunadi hingga sembuh. Tanpa pikir panjang, Wira menyanggupinya.

Bagi Wira, tak apa keluar uang untuk biaya berobat pecundang yang telah dia pukul KO karena menghinanya, demi tegaknya harga diri.

Anjani sudah bisa menebak bahwa Wira akan dengan sangat enteng menyanggupi membiayai pengobatan Pak Gunadi, karena dia tahu Wira adalah pribadi yang keras kepala dan tegas dalam prinsip. Namun, Anjani merasa prihatin dengan ibu Wira yang terlihat sangat terpukul atas kejadian itu. Bahkan mungkin sakit yang dia rasakan lebih pedih dari pada yang dialami Pak Gunadi. Sesaat setelah peristiwa itu terjadi, ibu memilih masuk ke dalam bilik kamarnya dan tak keluar lagi.

Beberapa saat setelah warga bubar, rumah Wira kembali sepi. Pemuda itu duduk di bangku panjang di depan rumahnya, bersanding dengan Anjani yang belum juga mau pulang. Gadis itu merasa harus tetap berada di sana lebih lama untuk menemani Wira yang emosinya belum stabil benar. Situasi yang baru saja terjadi membuat kepala Wira makin pening. Kadang terlintas untuk menyerah, tetapi akal sehatnya berbicara bahwa hal itu sudah tidak mungkin dilakukan lagi dalam kondisi saat ini.

“Ibu masih belum mau berbicara?” tanya Anjani.

Wira menatap ke Anjani dengan wajah sayu, lalu menggeleng. Bagi Wira, hal yang paling dia hindari dalam hidup adalah menyakiti ibunya. Dan hal itu dia lakukan hari ini. “Ibu sepertinya sangat terpukul dengan kejadian tadi. Aku menyesal kenapa aku tidak bisa mengontrol emosiku,” gumam Wira dengan pandangan ke depan.

“Semua sudah terjadi. Aku sih yakin, dalam hati kecil ibumu, beliau juga tidak mau anaknya dihina begitu. Aku sebel banget liat wajah Pak Gunadi. Kupikir orang-orang problematik seperti itu hanya ada di sinetron atau film,” sungut Anjani.

Wira menyibakkan rambut ikalnya dengan jari-jari tangannya. Menggerakkan kepala dengan gerakan setengah putaran seperti ingin menghalau pegal di leher, lalu menghela napas panjang. Anjani mengamati gerak-gerik temannya itu dengan seksama. Dari waktu ke waktu, di mata Anjani, pemuda itu makin lama makin menampilkan sisi istimewanya. Ini tak berbicara soal fisik. Kadang Anjani berpikir, apakah ada pemuda seusia Wira, yang belum genap 30 tahun, memiliki hati seperti Wira, memilki ketegasan seperti Wira, juga sebertanggungjawab seperti Wira.

“Ibuku hatinya lembut. Duplikat hatinya ada di balik dadaku ini. Hanya aku, karena bahkan adikku pun tak selembut itu hatinya. Ibuku mengajari aku arti welas asih. Beliau mengajari aku untuk menyediakan diri bagi orang yang membutuhkan. Tetapi … aku juga mewarisi sikap keras Bapakku. Kamu sudah melihatnya saat kutonjok keras rahang Pak Gunadi tadi.”

Anjani memandang Wira dan tertawa mendengar ujung kalimat Wira.

“Kamu tahu, beberapa orang memang terlalu bebal untuk diajak menjalani hidup dengan baik. Ada yang kadang-kadang perlu disentil. Beberapa lainnya harus ditonjok supaya sadar.”

“Jadi kamu setuju?”

“Hahahaha … sudah nggak usah dibahas. Pikirkan saja bagaimana kamu mendapatkan uang buat pengobatan Pak Gunadi hahaha. Umm, jadi besok bagaimana?”

“Kamu ke sini agak pagi. Kita berbelanja perlengkapan tidur dan kebutuhan lainnya untuk Nuraini dan Ernasari, lalu siangnya kita bawa mereka ke kantor yayasan. Malam ini tugasku adalah memberi pengertian kepada Ibuku bahwa apa yang dilakukan anaknya adalah benar,” Wira mengerlingkan mata ke arah Anjani.

“Ya sudah. Sepertinya aku harus pulang, capek banget.”

“Oya, sebentar ….”

Wira berdiri, lalu merogoh sesuatu di kantong celana jeansnya. Tangannya tampak menggenggam beberapa lembar uang pecahan Rp100.000. Dia lalu menyodorkan uang itu kepada Anjani.

“Hah, apa ini?”

“Aku tahu mungkin ini tidak cukup untuk membeli perlengkapan tidur dan kebutuhan Nuraini dan Ernasari. Tapi aku sudah nggak pegang apa-apa lagi. Aku belum bilang kepadamu kalau Handoko memberiku Rp2 juta. Sebanyak Rp1 juta sudah habis itu bensin pulang pergi, makan, serta jajan mereka. Maaf, aku pakai Rp500.000 untuk melunasi biaya kunjungan industri Adma, ini sisanya buat belanja besok,” Wira menyodorkan uang itu.

Anjani terdiam.

“Maaf, tapi Handoko bilang aku boleh menggunakan sebagian sebagai pengganti pendapatanku yang hilang karena harus ke Kediri. Itu yang kuberikan untuk Adma,” Wira terlihat tak enak karena Anjani mendadak diam Dia mencoba memberikan alasan.

No … no … it’s okay. Aku nggak mempersoalkan itu. Aku diam tadi karena bingung aja kenapa kamu kasih duit padahal sejak kemarin aku bilang bahwa mereka akan aku masukkan dalam program yayasan, termasuk dalam job desk kamu nanti. Uang itu kamu simpan saja … oya, lagian kan kamu hari ini juga libur lagi dari jaga parkir. Pakai itu sebagai pengganti,” Anjani mencoba menetralisasi situasi.

“Makasih,” ujar Wira.

**

 Pemuda itu berdiri menunggu pengemudi mobil keluar, lalu setelah si pengemudi keluar, pemuda itu memberikan tiket parkir yang terdapat coretan nomor plat mobil. Dengan gestur sopan demikian juga bahasanya, pemuda itu mempersilakan wanita yang merupakan pengemudi mobil itu untuk masuk ke gedung perkantoran.

“Bayar sekarang, Mas?’

“Nanti saja, Ibu. Selamat beraktivitas, Ibu,” jawab pemuda itu ramah.

Sepeninggal wanita itu, pemuda itu beringsut ke arah timur, lalu mengambil duduk di bangku yang setiap hari menjadi “singgasana” baginya. Di samping bangku, terdapat kaleng bekas biskuit tanpa tutup, yang didalamnya terdapat es teh di kemasan plastik. Wadah kaleng itu digunakan untuk menegakkan plastik supaya es teh di dalamnya tumpah.

Lihat selengkapnya