Samosir, Rabu, 28 Oktober 2015.
Braaakkk!
Satu gebrakan di meja membuat ruangan itu mendadak hening. Semua yang berada di dalam ruangan itu pandangannya tertutup pada sosok wanita yang berdiri. Dia adalah salah satu orangtua murid.
“Tidak boleh!”
Wanita memandang tajam guru yang ada di depannya. Guru laki-laki itu berusaha menenangkan wanita itu dan beberapa orang tua murid yang berkumpul di ruang pertemuan sekolah dasar itu. Beberapa guru lain juga mencoba mencari cara agar situasi tidak semakin memanas.
Seorang ibu berambut keriting menyeruak ke depan, lalu mengacungkan jari dan menuding-nuding ke arah beberapa guru. “Berapa kali kami bilang, tak boleh! Tak boleh! Tak boleh! Tapi sekolah seperti tuli tak mau mendengarkan aspirasi dari kami. Kami bisa saja memindahkan anak kami dari sekolah ini, tapi itu terlalu jauh dan kami merasa kami yang kalah! Padahal jumlah kami lebih banyak, tapi kami harus mengalah pada satu orang anak!” teriaknya. Wajah wanita itu merah padam, keringat membanjiri wajahnya.
“Bila sekolah tak ada keputusan untuk mengeluarkan dia hari ini, besok kami akan datang dengan suami-suami kami. Camkan itu wahai guru! Camkan itu! Kami akan datang bersama suami-suami kami!” teriak seorang wanita lain di barisan orang tua murid.
Sorak sorai terdengar setelah wanita itu menyelesaikan kalimatnya. Belasan orang tua murid yang hadir tampak memenuhi ruangan itu dan ditemui empat orang guru. Kepala sekolah tak bisa datang karena sedang ada urusan ke dinas pendidikan kabupaten. Para guru yang berhadapan langsung dengan orang tua murid tampak kewalahan dan wajah mereka tampak pucat. Bila orang tua murid semakin tak terkontrol emosinya, dikhawatirkan akan memantik tindakan agresif. Padahal saat itu tak satu pun aparat keamanan yang terlihat.
Seorang guru perempuan tampak maju dengan sikap tenang. Lalu dengan sangat sopan meminta orang tua murid yang semuanya ibu-ibu itu untuk tenang dan memberikan kesempatan baginya untuk berbicara. “Mohon waktu sebentar untuk saya menyampaikan sesuatu. Jadi sebenarnya kami sudah merapatkan persoalan ini secara serius. Saat ini pun mumpung Pak Kepsek sedang berada di dinas pendidikan, beliau juga menyampaikan aspirasi orang tua murid ini,” ujar guru itu dengan hati-hati.
Belum juga melanjutkan omongannya, seorang ibu langsung menyambar, “Tapi kenapa dia masih bersekolah di sini? Itu pertanyaan kami!” seru seorang ibu itu.
“Saya selesaikan dulu penjelasannya,” lanjut guru itu. Tapi baru akan melanjutkan kalimatnya, seorang guru lain menowel bahu guru itu, lalu menyerahkan handphone ke arah guru itu.
“Dari Bapak,” bisiknya sambil menyerahkan handphone. Untuk beberapa saat, guru perempuan itu mendengarkan suara dari seberang yang berbicara di sambungan telepon. Beberapa kali dia terdengar menjawab dengan “iya”, “baik”, hingga kemudian pembicaran berhenti dan handpohne diserahkan kembali ke rekannya.
Guru itu memberi tanda agar orangtua murid tenang.
“Baik ibu-ibu sekalian. Ini malah sekalian saya akan menyampaikan hasil pertemuan Bapak Kepsek dengan pihak dinas pendidikan kabupaten. Tadi yang barusan telepon adalah Bapak Kepsek. Dari pihak dinas pendidikan telah menerima arahan dari bupati, terkait kasus ini dan aspirasi orang tua murid. Solusi yang ditawarkan adalah untuk murid yang menderita HIV/AIDS akan diberikan pengajaran secara terpisah,” ujar guru itu.
Spontan penjelasan itu berbuah tepuk tangan dari para orang tua murid yang hadir. Tapi belum juga berhenti tepuk tangan itu, mendadak seorang ibu berdiri dan berseru, “Tidak bisa begitu juga! Kalau pembelajaran terpisah tetap dilakukan di sekolah ini dan di jam sekolah juga, kami tidak mau. Pokoknya, anak itu harus keluar dari sekolah ini!”
Beberapa ibu-ibu di sana seperti tersadar, lalu dengan cepat mengamini apa yang baru saja disampaikan seorang wali muri itu. “Betullll … woiii, jangan mau kalau cuma dipisah!”
“Iya, betul, keluarkan anak itu dari sekolah!”
Tepuk tangan kembali membahana. Kali ini menyambut suara-suara orang tua murid yang tetap kukuh meminta anak itu keluar. Para guru yang hadir di kesempatan itu cuma bisa celingukan tanpa tahu harus berbuat apa. Mereka tidak berani mengambil keputusan sendiri karena takut salah langkah.