Tabu di Tanah Tuba

Ariyanto
Chapter #11

Wawancara Berbahaya

Wira menunggu dengan canggung di sebuah coffeeshop kecil di dekat pertigaan Jalan Kabangan. Sudah 15 menit, tetapi yang ditunggu tidak juga datang. Apakah saking sibuknya sehingga wartawan itu tak kunjung muncul? Kalau memang terlambat, kenapa tidak memberi kabar? Menunggu di tempat yang tidak terlalu familiar baginya adalah sebuah siksaan. Pemuda itu lebih terbiasa menunggu di angkringan, dengan segala kesederhanaan dan kerendahan hati orang dan suasananya.

Hari ini bukan hari favorit Wira, karena dia harus berpakaian yang tidak sesuai dengan keinginannya. Kata Anjani, Wira harus berpakaian rapi karena bukan tidak mungkin wartawan yang akan mewawancarainya juga akan memotret dirinya. Alhasil, Wira tampil rapi dengan kemeja layak pakai satu-satunya yang dia miliki, yaitu kemeja kotak-kotak hitam putih. Adma, adiknya, kerap menyebutnya sebagai kemeja papan catur andalan. Itu kemeja kasual satu-satunya yang dia punya. Sehari-hari dia lebih suka mengenakan kaos oblong. Sementara untuk acara agak resmi sampai resmi, dia lebih memilih mengenakan baju koko. Ada tiga baju koko yang dia miliki, yang biasa dia gunakan untuk menghadiri pertemuan bulanan RT, ke kondangan, atau acara resmi lainnya. Hari ini dia memadukan kemeja papan catur andalannya dengan celana kain warna hitam. Rambutnya juga diberi minyak dan tersisir rapi.

Wira menunggu di kursi luar coffeeshop itu. Waktu merambah menuju 20 menit menunggu. Karena sungkan, pemuda itu akhirnya masuk dan berniat memesan. Untung coffeeshop ini sepi, jadi aku tidak terlalu kelihatan aneh, batin Wira.

“Mau pesan apa, Mas?” tanya salah satu barista yang berada di sana.

“Umm … yang es apa ya, Mas?” Wira kebingungan. Matanya menatap papan menu di belakang atas barista. Tak ketinggalan Wira mencermati setiap harganya, waswas bila ternyata harganya terlalu mahal.

“Itu saja, Mas … Americano,” tunjuk Wira seperti mendapatkan pencerahan setelah baca papan menu itu.

“Baik, jadi satu Iced Americano ya, Mas. Mau ukuran apa?

Wira terdiam, mencoba mencerna apa yang disampaikan barista itu.

“Umm … anu, yang umm ... kecil saja,” jawab Wira pendek, begitu membaca kata "small"

“Baik, ada tambahan lain?”

Wira menggeleng cepat.

“Satu Iced Americano, total dua puluh lima ribu rupiah,” ujar barista.

Wira meraba saku belakang celana jeansnya. Sedikit agak lama dari seharusnya, hingga kemudian mendadak wajahnya sedikit berubah. Pemuda itu kemudian meraba saku belakangan sebelah kiri, lalu meraba saku celana depan kanan, pindah kiri, lalu kembali mengubah gerakan meraba saku belakang kanan. Mukanya mulai terlihat panik karena tak menemukan dompetnya. Pandangan barista itu makin membuat Wira panik. Tapi wajah barista itu cukup ramah dan kelihatan sabar menunggu.

“Waduhhh … maaf, Mas … saya kok nggak menemukan dompet saya. Padahal tadi, aduh, ini ….” Wira berbicara belibet, makin panik. Barista itu mencoba tersenyum seperti ingin membuat Wira tenang.

Tiba-tiba pintu coffeeshop terbuka, masuklah seorang pemuda dengan jaket jeans dan menyandang ransel hitam di pundak kanannya. Langkahnya yakin, langsung masuk mendekat ke arah Wira. “Mas Wira, apa kabar? Maaf saya terlambat … tadi acara di Pemkot Solo molor,” ujar pemuda itu. Wira belum sepenuhnya bisa konsentrasi, menyambut uluran tangan pemuda itu sambil terus tangannya bergerak tak jelas meraba-raba kantong. Wira belum pernah bertemu wartawan yang akan mewawancarainya. Sepertinya yang baru masuk ini adalah Eki, si wartawan itu, batin Wira.

“Siang Mas Rendra, seperti biasa kopi Kawanua-nya satu ya,” kata pemuda itu seperti terlihat akrab dengan coffeeshop ini.

“Siap, Mas Eki,” sambut barista itu.

“Mas Eki … aduh, bisa bantu saya?” Wira akhirnya pasrah. Air mukanya aneh, seperti khawatir.

“Kenapa Mas Wira? Sudah pesan?” tanya pemuda bernama Eki itu.

“Sudah, tapi saya cari dompet saya nggak ketemu,” muka Wira pucat.

Lihat selengkapnya