Tabu di Tanah Tuba

Ariyanto
Chapter #12

Kedatangan David Pandiangan

Jakarta, Selasa 3 November 2015. 

Wira melirik ke pergelangan tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul 18.10 WIB dan Frans Sagala, pengantar David Pandiangan, sudah memberi kabar bahwa pesawat mereka delay sekitar 40 menit, sehingga kemungkinan baru akan mendarat di Jakarta pukul 19.30 WIB dari jadwal semula pukul 18.50 WIB. Ini membuat Wira harus menunggu lebih lama lagi.

Wira sudah berada di area Terminal 2, Bandara Soekarno Hatta sejak pukul 17.00 WIB. Ini sebuah perjalanan melelahkan lahir batin baginya, karena sejak berangkat dari Solo suasana hatinya sudah tak baik. Pagi tadi di kantor, Wira bercerita kepada Anjani tentang proses wawancara dengan wartawan Harian Dinamika yang telah dilakukannya hari sebelumnya. Wira menyampaikan keluh kesahnya tentang bagaimana wawancara itu diawali dengan perbedaan cara pikir dia dan sang wartawan, dan si wartawan kukuh dengan kebenaran versinya. Bagi Wira, itu sebuah pertanda yang tak bagus, dan pemuda itu khawatir apa yang akan muncul di koran nanti justru kontraproduktif dengan perjuangan mereka.

Anjani menanggapi keluhan Wira dengan enteng dan meminta Wira untuk tidak terlalu overthinking, karena bahkan beritanya pun belum muncul. Secara umum, kata Anjani, wartawan dan media nyaris semuanya mengambil sudut pandang yang positif pada perjuangan antidiskriminasi penderita HIV/AIDS. Anjani menyampaikan itu sambil menyebutkan sejumlah fakta yang dia temui dan analisis, di mana sebagian besar media aktif menyuarakan pentingnya untuk merangkul penderita HIV/AIDS serta seruan untuk menghapus stigma yang melekat pada penderita HIV/AIDS. Anjani menyebutkan, nyaris semua media memiliki sikap yang sama. Anjani memiliki data itu, karena setiap satu bulan sekali dia akan melaporkan data itu ke kantor pusat yayasan yang berada di Jakarta.

“Dan kamu bilang nyaris semua … nyaris … artinya tidak semua. Kamu harus mendengar sendiri bagaimana upaya wartawan itu untuk menampilkan ‘kekuatan sebuah cerita’ dan aku lihat ada upaya mengabaikan hak-hak private anak-anak itu," keluh Wira.

Dengan kondisi industri media yang mulai di fase senja kala seperti sekarang ini, Wira sudah curiga bahwa media lebih menyukai pendekatan dan sudut pandang sensasi - dramatis - heroik daripada tulisan yang lempeng-lempeng saja tanpa ada potensi konflik. Wira benar-benar mengkhawatirkan hal itu. Sayangnya, pemikiran Wira itu tak digubris oleh Anjani karena memang hasil dari wawancara itu belum muncul di media. Pemuda itu pening memikirkan bagaimana bila hasilnya tak sesuai dengan harapannya. Pemuda itu juga kecewa karena sikap Anjani seperti mengutamakan citra yayasan di atas kepentingan anak-anak itu.

Wira mencoba menepis pikiran-pikiran yang mengganggunya itu dan mencoba fokus pada penjemputan David. Sambil menunggu kedatangan Frans Sagala bersama David Pandiangan, Wira menikmati satu cup kopi yang dibelinya. Ini adalah kali pertama pemuda itu naik pesawat dan memang pengalaman pertama itu cukup mendebarkan mengingat sebelum mendarat pesawat mengalami turbulence. Itu adalah pengalaman yang menakutkan bagi dia. Bagian terseram menurutnya adalah saat take off dan ketika landing. Sementara saat pesawat berada di atas, tak semenakutkan itu.

Sempat terlintas bagaimana bila pesawat mengalami kecelakaan dan dirinya tak selamat? Bagaimana dengan hidup ibu dan adiknya? Bagaimana hidup anak-anak asuhnya di shelter? Banyak orang bilang, pesawat adalah alat transportasi teraman di dunia. Tapi, menurut Wira, seaman apapun tetap membuatnya khawatir. Karena sekalinya celaka, selesai sudah. Tadi di dalam pesawat pemuda itu sempat mencoba memikirkan sisi positifnya, kata orang, penumpang pesawat yang mengalami kecelakaan akan mendapatkan santunan dalam jumlah yang sangat besar. Apalagi kalau sampai meninggal. Nilainya mencapai miliaran. Saking besarnya bahkan itu mungkin bisa membelikan rumah dan hidup yang layak bagi ibu dan adiknya. Pikiran liar itu sedikit melegakannya.

Wira melirik ke jam tangannya. Pukul 19.25 WIB, sesaat lagi pesawat Frans dan David mungkin akan mendarat. Pemuda itu bersiap menunggu di pintu kedatangan. Naik pesawat, berpakaian rapi dengan sepatu bersih, ngopi di tempat bersih dan sebagus ini, berbaur dengan orang-orang kalangan menengah ke atas seperti sekarang adalah hal-hal yang tidak pernah terlintas di benak seorang juru parkir seperti dia. Namun Wira mampu menyesuaikan diri dengan cepat setelah semalam diberi tahu oleh Anjani bagaimana prosedur naik pesawat itu, "Biar aku tidak terlihat kampungan," kata Wira.

Pukul 19.30 WIB, belum juga terlihat sosok Frans Sagala dan David Pandiangan. Dalam pesan yang dikirimkannya, Frans mengatakan dia mengenakan kaos merah dan jaket bomber warna hitam dan jeans hitam, serta membawa ransel merah. Sedangkan David Pandiangan mengenakan hoodie warna hitam bertuliskan “Fighter” di dada. Informasi yang sepertinya lebih dari cukup bagi Wira untuk menemukan mereka.

Sekitar 15 menit kemudian terlihat beberapa penumpang keluar dari dalam melewati pintu keluar bagian kedatangan. Belum satu pun terlihat sesuai dengan ciri-ciri yang dikatakan Frans. Lima menit berikutnya baru Wira melihat sosok yang sesuai ciri-ciri Frans dan David. Begitu melewati pintu keluar, Wira melambaikan tangan dan dibalas senyum oleh Frans.

Frans mengulurkan tangan, yang dibalas pelukan oleh Wira, “Selamat datang di Jakarta, Mas Frans. Akhirnya ketemu juga setelah lebih sering chat,” sambut Wira.

Pemuda itu kemudian melirik ke sosok bocah laki-laki di samping Frans. Wira mengambil posisi jongkok di depannya dan bocah laki-laki itu mundur selangkah. Saat Wira mengulurkan tangannya memberi salam. Alih-alih menyambut uluran tangan itu, Wira justru merentangkan tangannya, membuka diri untuk diberi pelukan. Bocah laki-laki itu diam tak bergerak memandangi Wira.

Lihat selengkapnya