Tabu di Tanah Tuba

Ariyanto
Chapter #13

Luka David

Kedatangan David Pandiangan di shelter Yayasan Bantu Jiwa membuat rumah itu lebih ramai dan dua gadis kecil yang sudah ada di sana sebelum David juga tampak gembira. Nuraini dan Ernasari selama ini tidur di lantai bawah, satu kamar berdua. Sementara Bu Narti, pengasuh mereka yang juga menjadi asisten rumah tangga di yayasan menggunakan kamar yang ada di belakang, kamar khusus untuk asisten rumah tangga.

Bu Narti adalah janda tanpa anak dari Purwodadi yang direkrut Anjani setelah gadis itu mendapatkan rekomendasi dari Bu Mumun, pembantu di rumah Anjani. Bu Mumun merasa kasihan melihat hidup Bu Narti di desa yang tak memiliki anak dan tak ada saudara, tinggal di rumah kontrakan kecil. Wanita paruh baya itu juga tak memiliki kemampuan untuk bercocok tanam di desa, sehingga sepertinya susah untuk bisa bertahan hidup.

Satu bulan di rumah aman Yayasan Bantu Jiwa, Anjani cukup puas dengan kinerjanya meskipun ada banyak hal yang harus diajari dengan sabar, misalnya menggunakan mesin cuci, menyalakan AC, menggunakan magic jar untuk menanak nasi. Bahkan seterika pun masih perlu diajari karena kata Bu Narti, dia di desa jarang seterika, kalaupun iya masih menggunakan seterika arang.

David Pandiangan, anak baru dari Samosir, di awal terlihat tak mudah menyatu dengan penghuni shelter lainnya, karena David cukup pendiam. Selain itu, secara kultur juga sedikit ada perbedaan antara Jawa dan Batak, misalnya soal makanan. Sama seperti Nuraini yang suka telur, di awal kedatangannya di rumah itu David hanya mau makan dengan telur dadar, sesekali diceplok. David tinggal di kamar lantai 2 rumah itu. Kamarnya cukup besar dan sebenarnya bisa untuk menampung dua atau bahkan tiga anak. Anjani berpikir untuk menata ulang siapa yang akan menghuni kamar mana bila memang nanti dibutuhkan, misalnya ada penghuni baru setelah David.

Rumah itu cukup besar, 200 meter persegi dengan lebar 10 meter kali memanjang ke belakang 20 meter. Di lantai bawah terdapat ruang tamu, ruang tengah yang biasa digunakan untuk meeting, kamar pertama digunakan untuk ruangan kerja Anjani, kamar kedua digunakan untuk Nuraini dan Ernasari, dapur dan ruang makan, kamar mandi dua di bawah, serta satu kamar tak luas untuk asisten rumah tangga. Di lantai dua terdapat dua kamar dan satu ruangan bersama untuk berbagai kegiatan. Terdapat balkon kecil yang menghadap ke arah jalan raya. Yayasan Bantu Jiwa menyewa rumah itu tiga tahun, per tahunnya Rp 28 juta.

“Aku akan merekrut satu pegawai baru yang akan menjadi staf administrasi di sini. Jadi kerjanya dari jam delapan sampai jam lima sore. Banyak hal yang sudah tak bisa kutangani sendiri sekarang setelah ada shelter ini,” kata Anjani suatu sore.

“Maaf kalau aku tidak bisa membantu banyak, karena memang pekerjaan utamaku adalah juru parkir. Aku tidak mungkin melepaskan itu,” kata Wira merasa tidak enak.

“Bukaaan. Ah, kok jadi baper begitu. Memang yayasan ini sudah saatnya merekrut staf. Masak iya aku harus single fighter terus dan cuma dibantu kamu. Memang kantor pusat di Jakarta juga sudah meminta aku merekrut pegawai bila memang aku kewalahan,” tepis Anjani.

Wira memang hanya ke kantor yayasan setelah pekerjaan utamanya menjadi juru parkir selesai. Biasanya sekitar jam 3 atau 4 sore, lalu dia mampir ke kantor yayasan. Dia memastikan semua penghuni shelter terpenuhi kebutuhannya, juga memantau apakah ARV untuk anak-anak masih atau sudah harus diambilkan lagi ke rumah sakit. Wira juga selalu mengingatkan bahwa Nuraini dan Ernasari minum obat tepat waktu setiap malam. Untuk David yang baru saja bergabung menjadi keluarga di situ, hal itu tak menjadi masalah karena dia sudah rajin meminum obat tanpa harus diingatkan.

“Setidaknya satu per satu tantangan yang kita hadapi mulai teratasi. Kita beruntung mendapatkan rumah ini dan menyelesaikan renovasi kecil-kecilan lebih cepat. Terima kasih juga kamu telah menyelesaikan tugas membawa David ke sini tanpa persoalan. Sekarang kita tinggal memikirkan sekolah mereka. Menurutku, Nuraini sudah cukup belajar dengan guru les. Sudah waktunya kita masukkan ke sekolah umum. Gimana?” Anjani meminta pertimbangan Wira.

“Aku setuju. Nuraini harus mulai kita lepas ke sekolah umum. Mumpung ada David, jadi dia tidak akan merasa sendirian. Nuraini dan David kita masukkan ke sekolah yang sama. Nah, tinggal Ernasari yang harus kita pikirkan.”

Anjani menyeruput kopi di depannya. Rumah aman terlihat lumayan sepi sore itu karena Bu Narti mengajak Nuraini dan Ernasari ke pasar, sementara David berada di kamar lantai dua. “Aku memikirkan untuk menempatkan Bu Narti, Nuraini dan Ernasari dalam satu kamar. Aku hanya ingin Ernasari lebih dekat dengan Bu Narti, sehingga saat Nuraini ke sekolah, dia tetap merasa nyaman di rumah bersama Bu Narti. Kita belum bisa memasukkan Ernasari ke TK,” usul Anjani.

Wira mengangguk cepat. Wira dan Anjani memang sudah membicarakan sebelumnya, bahwa anak-anak yang mereka asuh di shelter akan mereka didik dan biasakan hidup mandiri. Wira menyadari bahwa dirinya bukan bapak mereka yang bisa 24 jam memantau atau melayani. Untuk itulah anak-anak ini harus mandiri, Wira hanya menjadi pengawas supaya mereka bisa menjalani hidup dengan baik dan merasa mendapatkan perlindungan.

“Aku sudah mendapatkan surat rekomendasi dari dinas kesehatan yang ditujukan ke dinas pendidikan, untuk kemudian surat ini kubawa ke sekolah dasar yang ditunjuk. Kondisi anak-anak ini akan dirahasiakan dan hanya kepala sekolah yang mengetahui. Sekolah ini sebelumnya telah berhasil meluluskan satu orang anak penderita HIV/AIDS yang dirahasiakan kondisinya, tanpa bocor rahasianya,” terang Anjani sambil tersenyum.

Nice!” sahut Wira.

“Aku akan urus secepatnya. Kalau surat beres, aku mau kamu antar mereka di hari pertama mereka sekolah.”

“Tidak masalah. Terima kasih sudah mengusahakan yang terbaik buat anak-anak itu,” ucap Wira.

Begini rasanya ya jadi orang tua, batin Wira. Pemuda itu bahkan belum berusia 30 tahun, tetapi seperti sudah menjadi seorang bapak. Sekarang dia merasa menjadi kepala keluarga di dua rumah tangga, yaitu di shelter dan di rumahnya sendiri. Tak sesulit itu bila secara finansial terpenuhi, tinggal sisanya dijalani sepenuh hati.

Sejak menangani kasus Nuraini dan Ernasari, Wira sudah memantapkan hati bahwa dia akan berkomitmen memperjuangkan anak-anak ini agar mendapatkan hidup yang layak tanpa ada diskriminasi. Komitmen yang cukup berat karena ini bisa jadi akan memakan waktu lama, hingga anak-anak ini benar-benar bisa hidup mandiri dan lepas dari mereka. Wira ingin suatu hari melihat anak-anak ini tumbuh dewasa menjadi pribadi yang kuat dan terpenuhi hak-haknya sebagai manusia tanpa ada diskriminasi.

Lihat selengkapnya