Tabu di Tanah Tuba

Ariyanto
Chapter #14

Molotov

Solo, Kamis, 5 November 2015.

“Wartawan bangsat!”

Wira melempar koran di tangannya ke meja kerja Anjani. Wira telah menunggu di kantor yayasan sekitar 30 menit sebelum akhirnya gadis itu datang dan masuk ke ruang kerjanya. Anjani sudah merasa aneh saat tiba di yayasan sudah melihat Wira duduk di teras dengan wajah muram, dengan kaos oblong dan jeans belel. Wajahnya kuyu, kucel, sepertinya belum mandi. Pasti ada masalah karena pemuda itu jarang sekali tiba di kantor pagi-pagi, kecuali ada urusan penting. Biasanya dia datang ke kantor setelah jam 3 atau jam 4 sore, bila aktivitas jaga parkirnya selesai. Tebakan Anjani benar, ada masalah!

“Boleh aku meletakkan barang-barangku dulu?” pinta Anjani, lalu meletakkan tas kerja dan tumbler-nya di atas meja, melepas jaketnya dan menyampirkan di kursi. Gadis itu kemudian mengambil remote AC dan menyalakannya, kemudian duduk. Diraihnya tumbler yang dibawanya dari rumah, membuka tutupnya, lalu menuangkan kopi ke dalam tutup yang berfungsi sebagai cangkir itu.

"Kamu nggak mau ngopi dulu biar tenang?"

“Dia pikir dia siapa bisa seenaknya mengumbar hal-hal privasi orang. Berlindung di balik kebebasan pers yang dilindungi undang-undang. Tahi kucing!” Wira seperti tak mempedulikan permintaan Anjani. Pemuda itu terus nyerocos sampai kemudian Anjani diam dan duduk di kursinya.

Please, duduk dulu?” kedua telapak tangan Anjani membuat gerakan telapak tangan menurun, meminta pemuda itu bersikap tenang dan duduk.

Wira membanting tubuhnya di kursi depan meja kerja Anjani. Pemuda itu terdiam beberapa saat untuk mengatur napas. Sejak pagi, dia sudah tak sabar menunggu Anjani datang dan menumpahkan kekesalannya. Selepas Subuh tadi Wira tak bisa tidur. Sambil menunggu jam kerjanya sebagai juru parkir yang dimulai pukul 07.30 WIB berbarengan dengan gedung perkantoran dibuka, Wira berinisiatif mencari sarapan dengan Honda Astrea Grand Bulus kesayangannya. Pilihan Wira adalah bubur ayam yang berada di dekat pertigaan Kabangan. Di samping pedagang bubur ayam itu tampak loper koran menjajakan koran Dinamika. Entah kenapa, Wira yang biasanya tak membaca koran tertarik untuk membeli satu.

"Kamu nggak jaga parkir hari ini?" tanya Anjani.

“Kamu baca, halaman satu di bawah,” tunjuk Wira ke koran di atas meja kerja Anjani.

Gadis itu meraih koran dan membaca halaman pertama. Di bagian paling bawah seperti yang diminta Wira, gadis itu menemukan tulisan berjudul “Kisah Pilu Anak-anak dengan HIV/AIDS”, tak ada yang aneh dengan judul berita feature itu. Anjani melirik ke arah Wira seperti ingin berkata “Whats wrong?” tapi keburu disambar Wira.

“Baca dulu.”

Anjani menuruti perintah Wira. Hening beberapa saat, sampai kemudian Anjani mengerutkan dahinya, meletakkan koran di meja, memandang Wira, lalu melanjutkan membaca lagi. Wira tersenyum sinis.

“Anak-anak dengan penderita HIV/AIDS ini sekarang diasuh oleh Wira Himawan dan Yayasan Bantu Jiwa yang menaunginya. Mereka ditampung sebuah shelter yang berada di Jalan Parang Baris nomor … astagaaaa!” Anjani terlihat kaget dan memandang ke arah Wira. Sampai alamat lengkap shelter ditulis, batin Anjani geram.

“Bangsat, kan? Coba kamu buka di halaman sambungan, di halaman sepuluh,” lanjut Wira.

Anjani membuka-buka lembar koran mencari sambungan berita di halaman sepuluh Harian Dinamika. Jantung Anjani degdegan membayangkan apa yang ditulis di sana. Halaman sepuluh sudah terbuka, lalu dengan telunjuknya dia mencari kolom lanjutan berita. Gadis itu telah menemukan sambungan berita, lalu hening sesaat.

“Dua anak perempuan yang menjadi penghuni pertama shelter yang dikelola Wira Himawan dan Anjani Nindita adalah Nuraini Putri, berumur 7 tahun dan Ernasari Putri berusia 4 tahun. Mereka adalah anak dengan HIV/AIDS yang menjadi korban persekusi warga desa di tempat asalnya, sebuah desa di Kediri.”

Anjani terdiam, tak melanjutkan membaca. Koran di tangannya terlepas dan jatuh di meja. Gadis itu menatap wajah Wira seperti tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Pantas saja Wira sangat marah dengan wartawan itu. Untuk sesaat dia tak tahu harus ngomong apa.

“Kita mati-matian menyembunyikan identitas anak-anak ini, tiba-tiba muncul wartawan super bego ini dengan seenaknya membuka identitas mereka, menuliskannya di koran yang akan dibaca warga seluruh kota. Demi apa? Demi tepuk tangan atas tulisannya yang dramatis. Demi pujian bosnya. Bangsat benar!” umpat Wira dengan jengkel.

Lihat selengkapnya