Tabu di Tanah Tuba

Ariyanto
Chapter #15

Tabu

Menyusul teror di shelter, hari itu Wira menyerahkan jatah jam kerja jaga parkirnya ke Jono dan Abdul. Biasanya, jam parkir dibagi dua shift, pagi – sore diisi Wira, sementara sore – malam diisi oleh Jono dan Abdul secara bergantian. Abdul adalah saudara sepupu Jono dari Jakarta yang merantau ke Solo untuk mencari pekerjaan. Oleh Jono, Abdul dibagi jatah parkir selang-seling hari dengan Jono atas nama kasihan. Konon dulu bapaknya Jono pernah ditolong oleh bapaknya Abdul saat sakit.

Begitu urusan dengan Jono dan Abdul selesai, pemuda itu bergegas memacu sepeda motornya ke balai kota Pemkot Solo. Bila biasanya dia hanya mengenakan kaos oblong yang kemudian didobeli dengan seragam parkir, kini pemuda itu mengenakan kemeja rapi, meskipun masih memakai jeans. Sepatu yang dikenakannya pun tampak lebih bersih. Wira tak mau rencananya gagal hanya karena dia tidak bisa masuk karena alasan tidak berpakaian rapi di kompleks perkantoran.

Sepanjang perjalanan dari Purwosari tempat dia bekerja sehari-hari hingga ke balai kota, Wira masih menahan marah yang menggelegak di dadanya. Terbayang wajah Eki, wartawan itu, yang bagi Wira adalah wajah paling menyebalkan saat ini. Wira tidak mengerti, pada bagian mana yang tidak dipahami Eki saat Wira meminta identitas anak-anak penderita HIV/AIDS dirahasiakan. Permintaan Wira sangat jelas, disertai alasan yang jelas pula.

Thiiiiiiiiiinnnnn!

“Woiii, jangan ngelamun, woii!”

Wira tergeragap. Motornya sempat oleng, sebelum kemudian dia berhasil kembali menguasai kendali. Lepas dari traffic light Nonongan, Wira memacu motornya lebih kencang. Kurang dari 5 menit, dia sudah tiba di depan pintu masuk balai kota. Ada barikade di sana, namun tak penuh dan masih bisa dilewati motor. Tampak beberapa petugas Satpol PP berjaga dan menanyai pemotor yang mendekat dan akan masuk ke kompleks balai kota.

“Mau kemana, Mas?” sapa salah seorang petugas itu sambil mendekati Wira. Pemuda itu bingung sesaat, karena memang dia tidak memiliki urusan ke dinas tertentu yang berkantor di kompleks ini.

“Anu … saya mau bertemu saudara saya, Pak,” jawab Wira sekenanya.

“Saudaranya siapa dan ngantor di dinas apa?” kejar petugas itu.

“Ehmmm … nggak, Pak. Bukan pegawai balai kota. Tapi tugasnya di sini. Wartawan, Pak,” ujar Wira kesulitan untuk menjelaskan. Tapi dia mencoba menjawab senatural mungkin supaya misinya masuk ke dalam berhasil.

“Wartawan? Siapa namanya? Kami kenal semua wartawan yang ngepos di sini,” tegas petugas itu. Kali ini dengan wajah sedikit agak curiga karena Wira tidak langsung secara gamblang bisa menjelaskan kepentingannya.

“Emm … Eki, Pak. Dari Harian Dinamika. Ini saya mau ketemu, karena mau mengabarkan ada saudara yang sakit. Eki itu anak dari Om saya, Pak. Saya disuruh bapaknya nyari ke sini. Ini saya baru pertama kali ke sini, makanya saya bingung,” ujar Wira berbohong, ajaibnya kali ini meluncur semua kalimat dengan lancar.

“Oalah, Mas Eki … iya ada. Langsung saja menuju ke belakang pendopo, nanti ada tulisan kantor Humas Pemkot, nah wartawan punya basecamp  di sana. Tadi saya lihat Mas Eki juga sudah datang kok,” sambar salah satu petugas Satpol PP. Wira mengangguk cepat, lalu mengendarai motornya dengan pelan masuk ke lahan parkir.

Dari lokasi parkir, Wira sempat celingukan sesaat sebelum berjalan menuju ke belakang pendopo. Kompleks balaikota Pemkot Solo ini memang bagian mukanya terdapat pendopo berbentuk Joglo yang luas, juga terdapat lapangan cukup luas. Kantor-kantor dinas berada di kompleks belakang pendopo. Ini kali pertama Wira memasuki kawasan perkantoran Pemkot Solo.

Dari arah sisi kiri pendopo, Wira berbelok ke kanan menuju belakang pendopo. Beberapa langkah di belakang pendopo, pemuda itu menemukan sebuah bangunan dua lantai dengan plang tulisan kantor Humas Pemkot Solo. Wira mendekat ke arah pintu kantor itu. Sampai di titik ini tak ada lagi petugas keamanan. Wira mendekati pintu kaca, dari luar tampak sejumlah pegawai sibuk bekerja. Pemuda itu bingung di bagian mana para wartawan berkumpul. Hingga seseorang tampak berjalan ke arah pintu, lalu membuka pintu dan bertanya kepada Wira.

“Cari siapa, Mas?”

“Kalau tempat kumpul wartawan di mana, Pak?”

“Oh, langsung naik tangga. Ruangan wartawan ada di lantai dua,” ujar laki-laki itu menunjuk ke arah tangga di pojok kiri.

“Makasih, Pak.”

Wira bergegas menaiki tangga menuju ke lantai dua. Begitu tiba di lantai dua, terdapat balkon kemudian ada ruangan tak seberapa besar. Di balkon terdapat kursi ukiran panjang yang diduduki tiga anak muda. Tampilan mereka kasual, semua memakai celana jeans, dua orang mengenakan jaket, satu memakai kaos oblong saja. Dua di antara mereka duduk di kursi, sementara satu orang pemuda tampak berdiri sambil sesekali menghisap rokok di tangan. Saat Wira tiba, semua mata sontak memandang ke arah pemuda itu.

“Cari siapa, Mas?” tanya salah seorang dari mereka.

“Mas Eki ada?” tanya Wira.

“Ada, Mas. Barusan tadi datang. Ekiiiii … Kiiii … ada yang nyari nih,” teriak salah satu pemuda itu.

“Duduk dulu, Mas ….” Salah seorang pemuda itu berdiri dan memberikan tempat duduk bagi Wira. Tapi pemuda itu menolak dengan halus.

Lihat selengkapnya