Honda Grand Bulus yang dikendarai Wira melaju di Jalan Slamet Riyadi ke arah Barat. Pemuda itu menuju ke arah pusat perkantoran Center Point untuk bekerja jaga parkir di sana. Laju kendaraannya hanya sekitar 40 km per jam, tak lebih, dikendarai pemuda itu dalam kondisi mata menahan kantuk karena kurang tidur. Beberapa kali Wira itu bergumam sendiri, nyanyi-nyanyi kecil sebagai upaya mematikan rasa kantuknya. Motor berhenti di traffic light depan Hotel Sala View. Pemuda itu mengusap-usap lagi matanya. Cita-citanya cuma satu, sesampai di tempat dia jaga parkir harus segera bersua dengan kopi hitam Bu Darmi di kantin.
Jalur dari arah depannya, barat ke timur menyala telah lampu hijau. Motor dan mobil berendengan melaju bersimpangan dengan posisi motor Wira berhenti. Di tengah menunggu lampu merah berubah menjadi hijau, sekelebatan mata Wira menangkap sosok yang dia kenal melaju dari arah depannya dengan kecepatan tak tinggi. Motor itu dikendarai seorang laki-laki berjambang lebat dengan tubuh gempal. Spontan Wira menoleh. Meskipun orang itu mengenakan helm, tapi wajahnya dapat dikenali Wira dengan jelas.
“Pram Bojel?” gumam Wira. Kok dia ada di kota ini? Mau apa dia kok bisa kebetulan berada di daerah tempat dirinya kerja?, batin Wira. Tetapi kemudian Wira berpikir dia hanya salah liat. Mungkin orang yang baru saja bersimpangan dengannya hanya mirip Pram Bojel saja. Wajah laki-laki serupa Pram adalah wajah pasaran dan banyak ditemukan. Tapi memang, menurut Wira, yang barusan lewat tadi mirip sekali dengan Pram. Wajah Pram terekam jelas di benak Wira karena peristiwa ribut yang terjadi antara mereka di Kediri menjadi pengalaman yang tak terlupakan.
Wira kembali teringat pada pertemuan terakhirnya dengan pemuda begundal itu. Sebenarnya juga sudah tak layak disebut pemuda, sudah tua dan perangainya tak pas lagi untuk dilakukan orang seumuran dia. Terakhir mobil yang ditumpangi Wira diadang Pram Bojel dan temannya, saat Wira mengevakuasi Nuraini dan Ernasari. Pram Bojel memberikan pesan ancaman kepada Wira, kalau sampai dua anak itu kembali, maka warga akan melakukan pengusiran. Selain ancaman, Pram juga memalak Wira dan hanya diberi Rp50.000 oleh Wira. Puncak komedinya adalah saat Pram Bojel meminta paksa air minum dalam botol yang dipegang Anjani. Ditenggak air itu, sebelum kemudian dimuntahkan lagi sisanya saat Wira bilang bahwa air itu diambil dari rumah Pak Sumo, rumah "sumber penyakit" yang disebut Pram. Wira tersenyum membayangkan bagaimana pucatnya wajah Pram saat diberitahu itu. Lalu suara hoek-hoek terdengar seiring mobil Wira berlalu dari hadapan laki-laki itu.
“Apakah dia masih akan memperpanjang masalah dengan datang ke Solo? Tapi orang tadi benar Pram bukan?” Wira berbicara sendiri.
Selepas tragfic light, hanya butuh waktu kurang dari 5 menit untuk Wira mencapai lokasi kerjanya sebagai juru parkir. Hari ini dia tukar shift dengan Jono, karena sejak pagi harus mengurus persiapan dua anak asuhnya, yaitu Nuraini dan David, masuk ke sekolah umum.
Wira memarkir motornya di dekat kantin di sayap kiri gedung perkantoran itu. Dari kejauhan tampak Jono duduk sambil melamun di kursi tempat mereka biasa duduk sambil menjaga kendaraan yang diparkir. Wira menuju ke kantin Bu Darmi dan langsung memesan kopi hitam.
“Dengaren baru datang, Wir?” sambut Bu Darmi pengelola kantin.
“Ngurus persiapan sekolah anak-anak, Bu.”
Bu Darmin terkekeh mendengar jawaban Wira, “Ya, hitung-hitung latihan sebelum kamu nanti berumah tangga dan punya anak sendiri,” Bu Darmi menyerahkan kopi yang diseduh di cangkir blirik ukuran kecil kepada pemuda itu.
“Saya bawa dulu, Bu,” Wira berujar lalu berlalu tanpa menunggu jawaban Bu Darmi.
Pemuda itu melangkah keluar dari kantin, menuju ke arah Jono. Dari jam 4 sore sampai jam 9 malam dia akan berjaga di sana. Selain banyak perusahaan-perusahaan yang membuka kantor di sana, banyak usaha-usaha lain yang tetap buka hingga jam 9 malam, misalnya toko dan service komputer, agent travel, toko aksesoris handphone, hingga coffeeshop. Tetapi memang bila dibandingkan pendapatan parkir pagi hingga sore, shift malam masih kalah.
Bagi Wira, pekerjaan jadi juru parkir cukup dinikmatinya meskipun banyak yang memandang sebelah mata. Sebenarnya kalau dihitung-hitung, pendapatannya sebulan lebih tinggi dari upah minimum kota (UMK) Kota Solo 2015 yang hanya Rp1,2 jutaan. Banyak di luar sana lulusan S1 yang bekerja hanya mendapatkan gaji UMK bahkan kurang. Bedanya, Wira kerja tak terlihat seperti kerja. Tidak berbaju rapi, bersepatu bagus dan memiliki status pegawai.
“Ada yang nyari tadi,” Jono menyambut Wira yang berjalan dengan lesu ke arahnya.
“Ngantuk bener aku, Jon.”
“Woii, tadi kamu dicari orang,” Jono mengulang.
Wira meletakkan cangkir kopinya di bangku di sebelah Jono duduk. Lalu tangan Wira menowel Jono agar bangkit dari duduknya, “Sudah buruan sono, gantian,” Wira mengusir Jono, mengabaikan omongan dari rekan juru parkirnya itu.
“Orangnya gempal, kaos item, jambangnya tebel. Datang sama temennya, nyari kamu,” lanjut Jono. Mendengar kalimat itu, Wira spontan melihat ke arah Jono.
“Siapa namanya?”
“Bodo! Tadi aja aku ngomong nggak didenger!”
“Ciee … merajuk wakakak. Nggak pantes tau sudah tua merajuk, kayak pengantin baru ditinggal suaminya ronda,” Wira terkekeh.
“Dua bungkus rokok, baru aku kasih tahu siapa yang nyariin kamu,” Jono mulai jualan. Wira terkekeh tak berhenti, sambil mengangguk-angguk.
“Jangan khawatir, bos. Malah kutambahi duit kok. Lima bungkus rokok dan duit. Kan memang aku masih utang ke kamu, karena kamu sama Abdul sudah bantu jaga kantor yayasan kemarin.”
Jono terdiam, merasa gagal memalak Wira. “Namanya Pram. Satunya nggak memperkenalkan diri. Nyari dari pagi, sebelum aku datang malah. Nunggu di trotoar sana. Pakai motor plat AG … AG mana sih?”
“Ah, bener! Jadi tadi memang bener!”
“Apa? Bener apa, kampret! Aku kan nanya plat AG itu motor mana?” sergah Jono sewot.
“Plat AG itu Kediri. Jadi bener, tadi aku di perempatan Hotel Sala View kayak lihat si Pram itu. Aku mikirnya salah lihat, karena dia kan orang Kediri ngapain kelayapan sampai ke sini,” kata Wira.
Jono mengernyitkan dahi.
“Emang dia siapa?”