Wanita berambut putih potongan model pendek pixie itu berdiri di teras, persis di depan pintu yang terbuka, memandang ke arah dalam ruang tamu. Pandangannya menyapu segala penjuru seperti petugas inspeksi. Matanya tajam dengan air muka datar, tak tertebak apakah menyukai atau membenci apa yang dilihatnya.
Penampilannya rapi, terusan batik warna merah marun dengan kalung mutiara melingkar di lehernya. Sepasang kakinya dibalut sepatu hitam mengkilat dengan hak sedang. Di tangan kanannya tergenggam tas kecil warna hitam pula. Di samping wanita itu berdiri laki-laki berumur sekitar 30 tahunan tak kalah rapinya, celana bahan kain halus warna hitam yang mepet di kedua kaki jenjangnya, kemeja lengan panjang warna biru muda, serta sisiran rambut belah pinggir rapi, mengkilat, yang membuat lalat pun akan menyingkir karena takut terpeleset. Harum parfum mahal menguar di ruang tamu.
Kontras dari kedua orang itu, berdiri Bu Narti dengan daster kelelawar warna cokelat kusam. Di tangan kanannya tergenggam sapu, di tangan kiri tergenggam serbet. Cara Bu Narti seperti agak membungkuk, gestur untuk menghormati kedua orang yang ada di depannya. Entah itu menghormati atau karena memang Bu Narti takut dan merasa inferior.
“Ada Bu, baru ke belakang. Silakan masuk, ditunggu di dalam,” sambut Bu Narti dengan sopan mempersilakan keduanya masuk.
Wanita dan laki-laki itu masuk, lalu duduk di kursi tamu. Pandangan wanita itu masih juga menyapu seluruh sudut ruangan. Dia meletakkan pantat di ujung kursi tamu, seperti tidak merasa nyaman duduk di sana. Entah apa yang dipikirkannya, karena hingga duduk pun air mukanya masih datar. Si laki-laki muda di samping wanita itu lebih sibuk dengan handphone-nya.
Tak berapa lama muncul Anjani dari arah belakang. Mendapati siapa yang duduk di ruang tamu, gadis itu langsung menyambut dengan ramah.
“Bu Karen, selamat pagi. Wah, ada apa nih, Bu pagi-pagi sudah mampir ke sini?” Anjani mendekat, lalu mengulurkan salam kepada wanita yang dipanggil Bu Karen itu dan laki-laki di sampingnya. Anjani mengambil duduk tepat di depan wanita itu.
“Pagi, Mbak Anjani. Saya ada perlu dengan Mbak Anjani, mohon maaf mengganggu waktunya. Karena menurut saya ini masalah penting, saya mendadak datangnya. Sebelumnya saya perkenalkan dulu, ini Pak Andreas Wibisono, selaku penasihat hukum saya.”
Anjani tersenyum ke arah laki-laki bernama Andreas itu. Dalam hati Anjani mulai bertanya-tanya, ada apa ini tiba-tiba Bu Karen datang bersama penasihat hukumnya. Bu Karen Suryajaya adalah pemilik rumah yang dikontrak Anjani saat ini dan baru sebulan lalu Anjani bertemu wanita itu untuk melakukan pelunasan biaya sewa rumah selama dua tahun senilai Rp56 Juta. Dia adalah seorang pengusaha katering di Solo yang memiliki beberapa aset properti, salah satunya yang dikontrak oleh Anjani untuk kantor dan shelter anak-anak dengan HIV/AIDS. Awal bertemu dengan wanita itu, Anjani merasa dia adalah wanita kaya yang baik dan ramah. Senyumnya selalu mengembang saat bertemu dengan Anjani. Tapi kok tidak kali ini ya, pikir Anjani.
“Begini, Mbak Anjani. Kedatangan saya kemari untuk membatalkan kontrak kerja sama sewa rumah ini. Saya yang mengajukan pembatalan kerja sama sewa rumah, karena saya melihat ada situasi yang tidak bisa saya toleransi. Mbak Anjani di awal hanya menyatakan mengontrak rumah ini untuk digunakan sebagai kantor Yayasan Bantu Jiwa. Tetapi dalam pelaksanaannya, Mbak Anjani menggunakan tidak sesuai dengan kesepakatan. Jadi hari ini saya meminta untuk dilakukan pembatalan perjanian sewa rumah saya ini,” kata Bu Karen dengan kalimat runut dan intonasi jelas, serta tak banyak basa-basi langsung ke substansi persoalan. Kalimatnya disampaikan nyaris tanpa emosi, disampaikan dengan tone datar. dengan air muka datar dan dingin, tanpa senyum. Tetapi bagi Anjani, wajah itu justru wajah tak ramah yang pernah dia lihat dari Bu Karen. Saat pertama kali bertemu dengan wanita itu, Anjani melihat bahwa Bu Karena adalah sosok yang sangat ramah.
“Hah? Dibatalkan bagaimana, ya Bu? Ini kami baru menempati satu bulanan,” Anjani kaget dengan apa yang dikatakan wanita itu.
“Mbak Anjani tidak pernah berterus-terang kepada kami kalau Mbak Anjani akan menggunakan rumah saya sebagai shelter untuk menampung penderita HIV/AIDS. Ini kebohongan yang tidak bisa saya terima. Kedua, saya baru saja baca di koran, bahwa rumah saya mendapatkan serangan teror bom molotov. Ini juga merugikan saya. Untungnya tidak ada kerusakan. Bayangkan bila kemudian bom itu menghancurkan rumah saya, apa Mbak Anjani juga akan bertanggung jawab? Saya dengan berat hati memutuskan membatalkan perjanjian sewa rumah yang telah saya lakukan dengan Mbak Anjani,” tegas wanita itu.