Tabu di Tanah Tuba

Ariyanto
Chapter #18

Karma Buruk

Wira melirik laki-laki yang duduk di sampingnya. Sejujurnya pemuda itu masih merasa benci dan jengkel dengan laki-laki itu, tetapi melihatnya gigih ingin berbicara dengan Wira, membuatnya sedikit menurunkan ego dan membiarkannya bercerita.

Beberapa kali obrolan mereka terjeda karena Wira harus memberi arahan mobil yang parkir di area yang dia jaga, lalu kembali lagi ke bangku tempat di mana Pram Bojel menunggu. Laki-laki itu dengan setia berada di sana karena dia benar-benar membutuhkan Wira saat ini.

“Lha kamu nanti malam nginap di mana, Mas?” Wira bertanya sambil menuju ke bangku di mana Pram duduk. Pemuda itu kemudian dengan santai mengambil tempat duduk di samping Pram.

“Di rumah saudara. Tadi pagi aku ke sini juga diantar dia. Sekarang dia lagi nunggu di angkringan di seberang jalan situ,” jelas Pram.

Laki-laki itu memandang Wira sambil mengadu kedua telapak tangannya entah untuk alasan apa. Mungkin menghalau dingin malam. Tak ada pilihan lain selain mendatangi Wira, karena pemuda ini harapan Pram satu-satunya.

“Sejak terakhir aku minum air itu, dua hari kemudian saya jatuh sakit, demam tinggi. Mual-mual, muntah berak. Aku lalu diantar teman ke Puskesmas, dikasih obat generik, tiga hari kemudian sudah sembuh. Tapi, dua hari kemudian aku batuk pilek, ditambah sariawan gede yang sakitnya minta ampun, Mas,” Pram menceritakan kondisi tubuhnya.

Wira diam. Dia sengaja tidak mau memberi penjelasan kepada Pram bahwa air putih yang dulu diminum laki-laki itu sebenarnya air putih biasa yang dibeli di supermarket. Dia membiarkan Pram tetap berpikir bahwa air putih itu mengandung virus HIV/AIDS dan telah masuk ke dalam tubuhnya. Mungkin ini terdengar jahat, tetapi Wira ingin Pram tahu bagaimana rasanya mendapatkan diskriminasi dan akhirnya bisa mengubah sikapnya.

“Terus?” tanya Wira lagi.

“Ke Puskesmas lagi, diantar Badrun temanku. Dikasih obat, batuk pilek reda, tapi sariawan baru sembuh setelah seminggu. Tapi dua minggu kemudian aku kena sariawan lagi. Aku sempat bertanya ke Badrun apakah penyakit itu sudah menjangkiti tubuhku? Dia jawab ya mungkin saja,” sambung Pram dengan wajah gusar.

“Badrun ini siapa sih kok dari tadi Bodran-Badrun," sela Wira ketus.

“Yang dulu aku … ehhhmm, aku anu … aku ajak mengadang Mas Wira saat evakuasi Nuraini dan Ernasari,” jawab Pram dengan nada malu.

“Oalah, dia. Terus?” Wira tersenyum mendengar kisah Pram. Wira teringat bagaimana laki-laki yang disebut bernama Badrun itu meletakkan motor RX King di depan mobil yang dikemudikan Wira, lalu menarik gas berulang-ulang untuk mengintimidasi Wira dan mereka yang ada di dalam mobil.

“Ya gitu, Mas … sekarang sih aku sehat. Tapi masih ragu, apa jangan-jangan aku kena HIV/AIDS seperti yang ditudingkan warga desa, ya Mas?”

Wira membelalakkan mata, “Lha memang apa tudingan warga desa? Lha kenapa warga desa bisa tahu? Apa mereka dokter?”

Pram bercerita, sejak dia sering minta Badrun menemani bolak-balik ke Puskesmas untuk periksa, ditambah curhatannya kepada Badrun, lama-lama temannya itu mulai menjauh. Bahkan sekarang sudah tidak mau bertemu dengan Pram lagi tanpa alasan jelas. Bila Pram mendatangi rumahnya, keluarga Badrun selalu bilang Badrun keluar. Padahal Pram melihat motor RX King Badrun ada di samping rumah. Badrun juga tidak pernah lagi mau main ke rumah Pram. Sikap temannya itu mendadak berubah total dan seperti menjauh dari dirinya.

“Itu terjadi dua minggu lalu,” terang Pram.

Situasi semakin aneh karena saat di warung kopi, ketika Pram datang, orang-orang meninggalkan warung kopi itu satu per satu. Alasannya macam-macam, ada yang harus menjemput istrinya di tempat saudara, ada yang bilang capek mau istirahat, ada yang mau mengecek ternak di kandang, dan alasan-alasan lain yang menurut Pram terdengar mengada-ada.

“Yang lebih menyakitkan, mereka tak mau menjabat tanganku saat aku tiba di warung kopi,” imbuh Pram.

Setiap dia tiba di warung kopi, lanjut Pram, maka tak butuh waktu lama di warung kopi itu tinggal dia dan pemilik warung.

“Mas nggak marah? Biasanya Mas kan mudah marah, paling jagoan sekampung. Jagoan kok diam saja diperlakukan seperti itu,” celetuk Wira.

“Yang ketiga kalinya aku marah, Mas. Aku gebrak meja warung kopi sampai kopi-kopi mereka tumpah. Semua pada bubar tinggal aku dan pemilik warung. Aku tanya kenapa orang-orang memperlakukanku seperti itu? Si pemilik warung akhirnya ngomong kalau ada kabar aku kena HIV/AIDS karena telah meminum air dari sumber di rumah Pak Sumo. Seluruh warga sudah tahu. Bajingan bener. Kutanya siapa yang menyebarkan berita itu? Dia tidak mau ngaku. Tapi aku sudah mikir, ini pasti ulah Badrun. Pantesan dia nggak mau lagi ketemu aku,” lanjut Pram dengan nada mulai naik. Wajahnya memerah.

Keesokan harinya setelah mendengar cerita dari pemilik kopi, Pram pagi-pagi menuju ke rumah Badrun untuk melabrak temannya itu. Tapi tanpa disangka, saat tiba di rumah Badrun, sekumpulan warga desa laki-laki sudah berada di rumah Badrun. Mereka seperti tahu bahwa Pram akan datang ke rumah itu setelah peristiwa gebrak meja di warung kopi. Badrun sendiri yang biasanya sembunyi saat dicari Pram, tampak berdiri gagah di teras rumahnya.

Badrun, menurut Pram, saat itu berteriak-teriak bahwa seluruh warga desa sudah tahu kalau Pram mengidap HIV/AIDS. Karena itulah warga meminta Pram untuk meninggalkan desa itu, seperti yang dilakukan Nuraini dan Ernasari. Badrun, lanjut Pram, saat itu memprovokasi warga agar menyuruh Pram meninggalkan desa itu segera.

Wira tersenyum mendengar cerita itu sambil melirik ke arah Pram.

“Aku tanya dari mana dia dapat informasi kalau aku kena HIV/AIDS? Kata Badrun, dia tahu karena dia yang mengantar aku dua kali ke Puskesmas. Dia juga sudah tanya-tanya ke pegawai Puskesmas dan dia dikasih selebaran tentang HIV/AIDS. Kata Badrun, penyakit yang kuderita ciri-cirinya sama dengan penderita HIV/AIDS yang dia baca di selebaran itu. Aku sudah tantang dia gelut, tapi dia dibela warga. Aku malah yang diusir,” kata Pram bersungut-sungut. Wira tertawa mendengar kisah Pram.

"Gimana rasanya?" tanya Wira sambil tersenyum.

"Rasanya apa?" tanya Pram heran.

"Gimana rasanya dimusuhi warga desa? diusir oleh warga desa? padahal Mas Pram merasa tidak bersalah. Itu dulu yang dirasakan keluarga Pak Sumo dan cucu-cucu perempuan mereka. Bayangkan, Mas Pram yang orang tua bisa sakit hati, apalagi anak-anak perempuan yang tak berdosa itu," sindir Wira.

Pram terdiam dengan muka kecut. Seperti tak berkutik dengan kalimat yang baru saja dikatakan oleh Wira. Pram tidak marah karena apa yang dikatakan Wira adalah benar.

Lihat selengkapnya