Tabu di Tanah Tuba

Ariyanto
Chapter #19

Memulangkan Balas

Abdul, laki-laki berambut keriting itu menatap ke langit-langit di sisi tangga lantai dua rumah itu. Sementara Wira seperti berpikir apa yang harus dilakukan. Pemuda itu lalu mengambil kursi kayu, meletakkan di samping kayu pegangan tangga, kemudian menyuruh Abdul naik ke atas kursi itu.

"Kamu naik, aku pegangin kursinya," perintah Wira.

Abdul agak ragu-ragu naik ke kursi, sebelum kemudian Wira melotot ke arahnya. Buru-buru juru parkir rekan kerja Wira itu naik ke kursi. Wira lalu menyerahkan sebuah palu kepada Abdul.

“Ini serius lu minta gue buat bobol lagi atap ini? Gila lu, Wir … udah cakep-cakep gini atapnya, lu bongkar lagi,” protes Abdul.

“Husss, sudah diem. Tinggal dibobol aja, nggak usah rewel,” hardik Wira.

“Yaelah, Wir … lu tau, atap rumah gue aja bolong-bolong pengen dibikin begini. Eh elu, malah rusakin yang cakep gini. Ini bener kan? Gue sodok ya atap sebelah sini biar bolong? Bener?” tanya Abdul ribut.

"Eits, lupa. Pakai ini dulu, biar nggak kelilipan," Wira menyerahkan sebuah kacamata renang kepada Abdul dan menyuruh laki-laki itu memakainya.

"Yaelah, tanggung amat, Wir. Kasih juga helm atau topi kek, biar rambut gue kagak kena kotor juga. Abis keramas nih gue," protes Abdul. Wira kembali melotot.

"Wir, sayang kalau dirusak. Elu kemarin bikin ini mahal lho," Abdul terus nyerocos.

“Bodo! Dari tadi sudah diperintah, masih aja cerewet. Mau nggak gajian?” ancam Wira.

Lalu mulut monyong-monyong, Abdul memukul keras eternit yang ada di dekat tangga lantai dua itu, hingga terlihat genting di atasnya. Abdul kembali menyodok satu genting hingga sinar matahari masuk dari lubang itu.

“Satu doang yang disodok? Nggak mau dibikin lima sekalian?” tanya Abdul setengah meledek.

“Iya, satu cukup. Dulu juga pas datang rusak satu saja kok. Nah, itu sudah kan? Sekarang kamu turun," perintah Wira.

Abdul turun dari kursi. Tugas pertama, merusak eternit dan menghilangkan satu genting adalah tugas mudah. Reruntuhan pecahan eternit kecil-kecil sebagian tampak menimpa rambutnya.

"Sekarang, kamu ambil tanah yang sudah aku siapin di ember. Kasih sedikit air, lalu sebar di lantai dekat tangga ini. Dulu pas awal juga begitu,” perintah Wira.

“Astagfirullah … lu emang benar-benar ya, Wir. Ini pidana lho, Wir. Elu mau bini gue lairan sementara gue di penjara? Tanggung jawab lu, Wir,” potong Abdul.

"Iya, aku tanggung jawab. Nanti bini dan anakmu aku yang tanggung biaya hidupnya. Aku nikahin sekalian binimu," goda Wira.

"Astagfirullah, mulut lu, Wir! Dosa lu, Wir!"

Lihat selengkapnya