Tabu di Tanah Tuba

Ariyanto
Chapter #20

Megatruh

Suasana di sebuah rumah di Desa Jaten, Kabupaten Karanganyar mendadak ramai. banyak warga mendatangi rumah yang cukup bagus itu. Jalanan di depan rumah bercat biru itu mulai macet. Tak hanya warga setempat, sejumlah warga dari luar desa juga mulai berdatangan menggunakan sepeda onthel hingga motor. Beberapa warga setempat menghalau mereka yang berusaha masuk ke halaman rumah itu untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi.

“Kamu juga, anak kecil ikut-ikutan! Nanti malam dihantui kapok kamu!” hardik salah seorang warga kepada dua orang bocah usia SMP yang mencoba masuk ke halaman rumah itu. Yang dihardik berlari menyingkir, tapi tak jauh-jauh dari rumah itu. Rasa penasarannya membuat mereka masih bertahan di sana.

Pukul 20. 50 WIB tersiar kabar ditemukan orang gantung diri di sebuah rumah. Kabar ini berkembang cepat dari rumah ke rumah, hingga dari desa ke desa. Cerita juga dibumbui macam-macam, bahkan ada informasi yang menyebutkan bahwa telah terjadi pembunuhan. Semua membingkai ceritanya masing-masing dengan “katanya” dan membuat kabar itu semakin membuat orang penasaran.

Pihak Polsek Jaten sudah dikabari dan sudah ada aparat yang merapat. Namun penanganan lebih lanjut masih menunggu Tim Indonesian Automatic Finger Identification System (INAFIS) dan Polres Karanganyar untuk melakukan penyidikan lebih lanjut.

Warga sudah menyemut saat Tim INAFIS dan petugas Polres Karanganyar datang. Di sisi lain, wartawan juga mulai berdatangan memadati rumah itu. Saat petugas melakukan pemeriksaan, korban ditemukan sudah dalam keadaan meninggal. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan fisik selain jejas jerat di leher yang terlihat makin erat karena menahan berat badan korban. Korban adalah laki-laki berumur sekitar 35 tahun, dengan tinggi 165 cm dan berat sekitar 75 kg, ditemukan dalam keadaan tergantung dengan tali terikat di kusen jendela kamar. Tali tambang warna hijau dengan diameter 0,5 cm itu dibentuk simpul mati dengan satu buah lilitan.

“Saya pikir dia keluar rumah ke tempat temannya. Karena saya tidak melihat dia sejak jam empat sore. Soalnya dulu beberapa kali dia minta saya antar ke tempat temannya yang kerja jadi juru parkir di Center Point, Solo,” ujar seorang pemuda di hadapan polisi yang menanyainya. Pemuda itu terisak dengan beberapa kali mengusap matanya.

“Sempat mengeluhkan persoalan tertentu?” tanya polisi.

Pemuda itu menggeleng cepat. Menurutnya, sepupunya itu orang yang tertutup. Baru tiga minggu tinggal di Karanganyar alasannya adalah untuk mencari kerja dan rencananya mau cari kontrakan di Solo. Bagi pemuda itu, alasan mencari kerja adalah hal yang aneh karena sepupunya itu adalah orang yang cukup berada. Tanpa bekerja pun orangtuanya sudah mewariskan banyak harta.

“Dia baru tiga minggu di sini, Pak. Belum cerita banyak soal kenapa mau tinggal di Solo. Nah, sebelum menemukan tempat tinggal sendiri, sementara tinggal di sini, di rumah Pakdenya. Tapi ya itu, beberapa kali dia terlihat seperti orang bingung, ngajak saya ketemu seseorang di Center Point. Tapi kalau saya antar, saya disuruh nunggu di angkringan dekat tempat itu, dia menemui temannya. Kalau habis dari sana, wajahnya muram seperti sedih dan bingung,” jelas pemuda itu.

“Baik. Untuk sementara ini dulu. Polisi dalam hal ini belum bisa memutuskan bahwa penyebab kematiannya adalah bunuh diri. Harus dilakukan autopsi untuk menentukan penyebab kematiannya. Silakan dibicarakan dengan pihak keluarga dulu apakah bersedia dilakukan autopsi atau tidak,” kata polisi.

 **

 “Apa lagi ini,” gumam Wira.

Adma, adiknya, tergopoh-gopoh menemuinya di Center Point saat Wira bekerja. Kata Adma, ada tiga orang polisi datang ke rumah mencari Wira. Adma tidak bisa menjelaskan apa maksud kedatangan polisi-polisi itu.

“Ya lain kali ditanyakan, perlunya apa nyari aku,” ujar Wira sewot. Adma terdiam dengan muka masam. Bocah itu tak berani menjawab kata kakak lekakinya itu.

“Tadi cuma disuruh jemput. Itu Ibu juga sudah takut, Ibu nangis karena mikirnya Mas Wira berbuat kejahatan sampai dicari polisi,” sambung Adma.

Wira terdiam. Kalau sudah soal ibunya, maka tak bisa lagi dia mengabaikan. Dalam pikiran pemuda itu berkelebatan dengan banyak asumsi. Apakah Bu Karen melaporkan dirinya ke polisi karena telah melakukan perusakan rumahnya? Atau Eki wartawan tengik itu yang melaporkan dirinya karena telah melakukan pemukulan? Atau bahkan dua-duanya melaporkan dirinya?

“Kamu pulang dulu, aku susul secepatnya,” perintah Wira. Pemuda itu juga sudah melihat adiknya seperti sangat khawatir. Ah, lagi-lagi aku menyusahkan keluargaku, batin Wira.

Sepeninggal adiknya, Wira menelepon Jono untuk menggantikannya sementara karena dia harus pulang. Setelah itu dengan cepat Wira mengambil motor tuanya, lalu memacu cepat menuju ke rumah. Jarak antara tempat dia menjadi juru parkir ke rumahnya tak terlalu jauh. Sepanjang perjalanan, pikiran Wira tak tenang. Beberapa kali dia ditegur orang karena tidak fokus dalam berkendara.

Sekitar 15 menit pemuda itu telah sampai di rumah. Di ujung gang tadi dia melihat sebuah mobil polisi diparkir.

“Assalamualaikum,” ucap Wira, yang kemudian dibalas oleh orang-orang yang berada di dalam. Pemuda itu kemudian menyalami satu per satu polisi itu. Sang ibu tampak duduk tertunduk di sudut lain, ditemani Adma.

“Mas Wira?”

Pemuda itu mengiyakan, lalu mengambil duduk di depan para polisi.

“Kami dari Polres Karanganyar, Mas. Mohon maaf kami mengganggu Mas kerja. Kami hanya butuh bantuan dari Mas Wira untuk penyidikan kasus kematian seseorang. Karena berdasarkan informasi saudaranya, korban ini pernah beberapa kali bertemu Mas Wira,” ujar polisi yang duduk di tengah.

Wira mengernyitkan dahi. Mimpi apa dia sampai harus berurusan dengan polisi perkara kematian seseorang, batinnya.

Lihat selengkapnya