Wira dan Anjani memandangi keduanya dengan perasaan bangga. Mereka seperti bapak ibu yang sangat bersemangat melihat anak-anaknya masuk sekolah di hari pertama. Sebuah perasaan yang menakjubkan di tengah perjuangan keras yang telah mereka lakukan untuk mewujudkan momen ini: berhasil memasukkan keduanya di sekolah umum.
David, bocah laki-laki itu menggandeng erat tangan kurus Nuraini, bahkan sebelum keduanya melangkahkan kaki menuju ke sekolah. David seperti tengah menyalurkan energi, menguatkan adiknya itu untuk menjadi sosok yang kuat menghadapi dunia nyata di luar sana. Itu seperti yang diajarkan Wira dan terus diingatkan berkali-kali.
Bocah laki-laki itu mengenakan kemeja putih bersih bau toko, demikian juga Nuraini. Warna merah dari celana pendek dan rok mereka bak cabai matang baru petik, tak ada kusam di sana. Sepatu hitam kaus kaki putih membuat mereka lebih rapi. Semua itu dibelikan oleh donator tetap dari Yayasan Bantu Jiwa, termasuk tas ransel baru yang disandang keduanya. Bu Rodiah juga telah menyiapkan bekal makan dan minum untuk keduanya. Sesuatu yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya. Wira dan Anjani ingin memastikan bahwa anak-anak itu mendapatkan berlimpah cinta di shelter.
“Om dan Tante hanya akan mengantarkan kalian sampai di gerbang sekolah. Setelah itu, kalian harus berani sendiri di sekolah. Cari teman baru, belajar dan ingat ... bergembiralah,” pesan Wira.
David dan Nuraini mengangguk cepat. Tersungging senyum di bibir mereka berdua. Tangan David tak juga lepas dari pegangannya ke tangan Nuraini.
“David, nanti antarkan dulu Nuraini ke kelasnya, sampai menemukan tempat duduknya. Setelah itu, David boleh masuk ke kelasnya. Gimana, Vid?”
“Siap, Om!”
Wira dan Anjani tidak mengantarkan mereka ke sekolah dan membiarkan kedua anak itu belajar mandiri. Mereka dimasukkan ke SD Pucangsawit dan tidak akan mendapatkan perlakuan khusus. Anjani sebelumnya sudah mengkondisikan dengan melobi Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Kota Solo, serta Dinas Kesehatan, untuk memberikan surat ke kepala sekolah agar status HIV/AIDS David dan Nuraini dirahasiakan. Hanya kepala sekolah yang tahu dan disebutkan status keduanya adalah anak yatim piatu yang tinggal di panti. Bahkan guru-guru pun tidak diberi tahu karena khawatir semakin banyak orang tahu makan semakin besar kemungkinan bocor.
Wira dan Anjani juga memastikan tidak ada lagi wawancara dengan wartawan yang berpotensi membuka informasi pribadi bocah-bocah shelter. Wawancara hanya dilakukan terkait kegiatan yayasan, atau lebih ke kiprah Wira dan Anjani. Tak boleh membuka identitas anak-anak yang mereka asuh, mulai dari identitas pribadi, foto anak-anak itu, hingga di mana mereka bersekolah.
Nuraini akan memulai sekolah kelas I SD, sementara David akan mengulang mulai kelas V, meskipun seharusnya dia sudah kelas VI. David ketinggalan banyak pelajaran di kelas V karena persoalan yang dihadapinya hingga proses pindah dari Samosir ke Solo yang membuatnya harus berhenti sekolah sementara. Satu penghuni shelter lain, yaitu Ernasari, belum dimasukkan ke TK dan lebih banyak beraktivitas di panti. Namun, seminggu dua kali ada sukarelawan dari mahasiswa yang datang untuk membantu Ernasari belajar dan bermain.
“David berangkat ya, Om … Tante,” bocah laki-laki itu meraih tangan Wira dan Anjani bergantian, menciuminya sebagai rasa hormat. Nuraini mengikuti apa yang dilakukan kakaknya itu. Wira dan Anjani tak kuasa menahan haru. Anjani sempat memotret kedua anak itu dengan handphone-nya dan akan mengirimkan momen bahagia itu kepada kakek dan nenek Nuraini di Kediri dan LSM yang membantu David di Samosir. Jarak sekolah dengan shelter tak jauh, hanya sekitar 400 meter. Keduanya telah dilatih Wira untuk menghapalkan rute berangkat dan pulang sekolah yang nyaman dan aman, mengingat posisi shelter terpisah dari permukiman penduduk. Wira percaya, David sosok bocah laki-laki yang bisa diandalkan.
Nuraini, di luar dugaan, tumbuh menjadi anak perempuan yang tidak cengeng. Dari gadis kecil yang lugu dan lebih banyak diam, Nuraini seperti mulai keluar dari cangkangnya dan menjadi gadis kecil yang periang. Lebih bahagia dan bersemangat untuk menjalani hidup. Mungkin karena banyak mendapatkan limpahan kasih sayang dari orang-orang yang dekat dengannya.
Wira dan Anjani bahagia bisa menyediakan ini semua bagi mereka. Shelter yang menempati bangunan baru ini akan mendapatkan perhatian khusus dari Pemkot Solo, salah satunya akan mendapatkan hibah anggaran dari APBD Kota Solo, yang akan digunakan untuk membayar operasional dan biaya hidup anak-anak. Selain itu, yayasan juga memiliki donatur tetap dari perseorangan selain juga mendapatkan kucuran dana dari badan sosial internasional.
“Oya, kita akan memulai program edukasi bahaya dan pencegahan HIV/AIDS lebih gencar, karena kebetulan dari Pemkot ada anggaran. Kita akan berkolaborasi, melakukan edukasi dengan menyasar tak hanya warga di tengah kota, tetapi juga pinggiran. Agak susah untuk memberikan edukasi bagi masyarakat pinggiran, apalagi di desa-desa, karena berbicara pencegahan HIV/AIDS salah satunya akan menyentuh hal tabu menurut mereka, yaitu tentang seksualitas. Sayangnya, dari data yang ada di Pemkot, tak sedikit penderita HIV/AIDS berada di daerah pinggiran atau desa,” kata Anjani.
“Aku percaya kamu akan membuat program yang bagus dan bermanfaat. Aku sepenuhnya akan mem-backup-mu dari belakang, supaya program-programmu sukses,” sambut Wira dengan tersenyum.
“Sudah pantes lho, Mas … Mbak.”
Anjani menoleh ke belakang. Pak Bagong, tukang bersih-bersih rumah yang merupakan pegawai baru di shelter nyeletuk dari belakang Anjani dan Wira.
“Pantes apa, Pak?” tanya Anjani.
Pak Bagong tersenyum. Sambil pura-pura melanjutkan menyapu halaman, laki-laki berumur sekitar 50 tahun itu melirik ke arah Wira. Pemuda itu mengernyitkan dahi melihat tingkah Pak Bagong, “Apa sih, Pak?” tanya Wira.
“Sudah pantes mengantarkan anak sendiri ke sekolah … hihihi,” Pak Bagong menutup mulutnya sambil tertawa. Wira dan Anjani tersenyum melihat tingkah laki-laki itu.