Tabungin

Shireishou
Chapter #4

3. Apa Musik Kesukaan Excel? Cell-o!


Bapak akhirnya tidur di ruang tamu ketika Ibu masih marah-marah karena tidurnya terganggu tadi malam. Yah, sebenarnya Ibu tidak mengusir Bapak, tapi Bapak merasa bersalah. Jadi pria itu memilih tidur di luar agar Ibu bisa istirahat dengan nyaman dan tidak tiba-tiba menjadi guling.

Azan Subuh berkumandang ditemani suara desis minyak menggoreng sesuatu di dapur. Namun, Bapak memilih langsung kabur ke masjid bersama ketiga anaknya. 

Mereka masih ingin menghirup udara esok hari!

Semua kompak berdoa di pagi yang teduh itu agar Allah memberikan jalan keluar supaya Ibu tidak stres dan marah-marah lagi. Wanita yang tadinya hampir tidak pernah marah menjadi sangat sering ngamuk, memang patut dikhawatirkan. Belum lagi urusan marah berkepanjangan kabarnya bisa menyebabkan penyakit susulan seperti serangan jantung atau bahkan stroke. Tidak ada satu pun orang di rumah itu yang ingin Ibu sampai kenapa-kenapa. 

“Kita harus gimana pas sarapan?” Yudhis membuka pembicaraan saat mereka berjalan beriringan pulang. 

“Serahkan semua sama Bapak. Semalam Bapak sudah ada ide. Tugas kalian hanya tinggal mendukung apa yang Bapak katakan.” Bapak menepuk dadanya bangga.

“Rencana apa, Pak?” Bima bertanya khawatir.

Bapak hanya tertawa dan berkata kalau nanti saja saat ada Ibu. “Bapak capek kalau jelasin dua kali. Nggak dibayar pula.”

Sorakan ketiga anaknya menjadi reaksi kalimat barusan.

***

Tidak ada siapa-siapa di ruang dengan meja makan panjang dan lima kursi bersandaran tinggi itu. Biasanya, Ibu akan menyambut Bapak pulang dari masjid dan mengajak sarapan bersama. Ruangan yang didominasi warna putih itu senyap. Kekosongan kali ini membuat bulu kuduk keempatnya meremang. 

“Kita makan duluan apa tunggu Ibu?” perut Bima berbunyi.

Yudhis melotot dan baru saja akan membuka mulut ketika suara dehaman Ibu lagi-lagi membuat semua terdiam.

“Kenapa bengong di sana? DUDUK!”

Keempatnya langsung berhamburan ke kursi masing-masing.

Ibu hari ini mengenakan daster ungu kesayangannya dengan rambut panjang yang diikat satu di bawah tengkuk. Dia membuka tudung saji dan memperlihatkan sepiring tahu dan tempe goreng. “Masing-masing maksimal makan empat potong! Kecuali Bima boleh enam. Dia butuh protein lebih banyak dari yang lain.”

“Yaaaah!” Yudhis yang paling gembul pun tanpa sadar mengeluh.

“Yudhis dikurangi satu!”

Baru mulut Yudhis membuka, Ibu memajukan tangan dan telunjuknya ke arah mulut Yudhis. “Kalau protes, Ibu kurangi satu lagi!”

Maka Yudhis pun hanya diam menelan ludah. Kekejaman Ibu ternyata merambah ke urusan perut! Sungguh melanggar HAM!

Untuk sementara semua orang di meja makan terdiam dan mengambil makanan ke piring masing-masing hingga tidak ada lagi nasi dan gorengan yang tersisa di meja. Juna diam-diam melemparkan sepotong tempe ke Yudhis. Ibu tampak tak terlalu memperhatikan karena sibuk dengan piringnya sendiri. Yudhis memandang adiknya dengan mata berkilau-kilau penuh rasa terima kasih.

Suara dehaman Bapak membuat semua yang ada di ruangan itu–termasuk Ibu–menoleh. “Bapak dan anak-anak sudah setuju kita akan piknik bersama tiga bulan lagi.”

Lihat selengkapnya