Malam berlalu dengan cepat setelah Ibu dengan gagah berani mengatakan akan berdagang rujak cingur. Sesuatu yang tidak pernah Ibu lakukan sebelumnya. Memang kompleks tempat mereka tinggali cukup ramah bagi bisnis rumahan khususnya masakan. Grup Whatsapp kompleks dipenuhi dengan penjual dan pembeli yang mencari aneka produk dari mulai sandang, pangan, bahkan papan.
Ide Ibu untuk berjualan makanan, apalagi sesuatu yang baru dan belum pernah dijual di kompleks sebenarnya sangat bagus. Masalahnya, Ibu seumur hidup tidak pernah berdagang. Tidak punya pengetahuan soal bagaimana cara berdagang. Bagi Bapak, ini cukup mengkhawatirkan.
Maka semalaman, Bapak melakukan banyak riset soal marketing dan berbagai kepentingan berdagang. Juga survei dari toko-toko bahan memasak daring untuk membandingkan harga bahan-bahan membuat rujak cingur. Jika Ibu ingin belanja ke pasar yang belum pernah dilakukannya, Bapak berharap Ibu tidak akan terjebak.
Ibu selalu belanja di warung sayur dekat rumah untuk sehari-hari. Belum pernah belanja ke pasar apalagi membeli cingur dan petis.
Apa Bapak harus menemani Ibu ke pasar? Jujur Bapak tidak tega jika Ibu bekerja keras untuk liburannya sendiri. Namun, memang jika mengandalkan pekerjaan freelancer semua orang, mungkin tidak akan cukup. Apalagi untuk kebutuhan sehari-hari, Bapak hanya mengandalkan uang kontrakan yang harus dibagi dua belas bulan dan berhemat. Sementara uang sekolah Bima dan Juna dari tabungan emas selama masih aktif bekerja.
Maka, seusai sarapan, Bapak pun mulai mengadakan rapat di ruang keluarga.
“Jadi, apa ide kalian untuk Warung Rujak Ibu?” Bapak membuka rapat setelah membaca basmalah.
Juna yang paling muda langsung bersemangat, "Wah, seru! Kita bisa jualan di depan rumah, kan?"
“Bikin booth biayanya mahal,” keluh Bapak. “Bapak sudah mencari info di toko-toko daring harganya juga lumayan. Belum ongkos kirim. Apalagi kita nggak bisa beli yang harga tiga ratusan. Terlalu kecil. Kita kudu nyari yang ada atapnya dan agak panjang. Dan harganya nggak ada yang di bawah sejuta.”
Yudhis menarik napas. “Lagian, emang Ibu masih inget cara bikin rujak cingur? Terakhir Ibu bikin pas ngidam saat hamil Juna. Udah puluhan tahun lalu!”
“Lebay, bang! Juna dua puluh aja belom!” sungut si Bungsu dengan wajah pura-pura ditekuk kesal.
“Insyaallah masih. Itu makanan kesukaan Ibu. Lagian saingannya dikit dibanding nasi goreng, ayam tepung, dan makanan viral lainnya.” Ibu mengangkat jempolnya penuh percaya diri. “Paling yang susah nyari petis yang enak. Tapi, Ibu punya langganan toko bahan makanan Jawa Timur. Biasanya Ibu beli sambel pecel sama kerupuk di sana. Harusnya jual petis juga. Semoga enak.”
“Kok nggak pernah masak cingur lagi, Bu?” Juna menatap heran. Dia mungkin satu-satunya yang belum pernah merasakan rujak cingur buatan ibu. Itu jika Bima yang masih di kandungan juga dihitung mencicipi.
“Bapakmu nggak suka bau petis.”
“OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!!”
Ketiga pemuda itu langsung merasa kalau Ibu mereka sengaja membuat kedai rujak cingur untuk mengerjai Bapak. Ibu sudah mengalah sekian tahun tidak memakan masakan kesukaannya demi Bapak. Setelah pensiun, saatnya kembali memakan masakan kesukaan. Sepuasnya!
Bima mengetuk-ngetuk telunjuknya ke meja lalu mengangkat tangannya. “Bima punya ide. Daripada bikin booth, gimana kalau kita bikin aja spanduk selebar atap rumah kita? Semua pesanan dikerjakan di dapur. Enggak perlu nambah biaya. Di percetakan langgananku nggak sampai seratus ribu. Pakai uang jajan Bima aja.”
“Nah!” Yudhis bertepuk tangan. “Kita bisa tambahi tagline khusus!”
“Penjual Cingur Mencari Mantu! Dijamin banyak yang datang!” Juna berpose dengan jempol dan telunjuk menahan di dagunya. “Kami kan tiga high quality jomlo!”
“OH NO! KALIAN MASIH KEMUDAAN BUAT NIKAH!!!” Ibu langsung berseru panik.
“Emang kalian sudah mapan buat kasih makan anak orang?” Bapak ikut tertawa. “Mau piknik aja bingung.”
“Tapi kami kan beneran high quality, Pak!” protes Yudhis sambil mengelus jenggot dengan jempol dan telunjuknya.
Semua pun tertawa bersama.