Ibu masih terbengong-bengong melihat lahan parkir motor sekali lagi. Kendaraan Juna bukan tipe motor sejuta umat yang tersamar jika ada di dalam jajaran motor-motor di parkiran. Motornya cukup mencolok dengan warna merah-perak menyala.
Bawaan Ibu memang tidak banyak. Hanya cingur dua kilogram dan petis. Namun, tetap saja cukup berat dan menyebalkan jika tidak segera diletakkan di gantungan motor atau dimasukkan ke bagasi.
Dengan tergesa, Ibu mengambil ponsel dan berusaha menelepon Juna.
Tidak ada sambungan.
“Kok iso mati ngene, tho!” Ibu langsung kumat berbahasa Jawa saat tidak dikelilingi keluarganya. Menikahi pria dari pulau yang berbeda mau tidak mau menenggelamkan bahasa Jawa Timur yang biasa dia gunakan sebelum menikah. Demikian pula bahasa Batak suaminya pasti sudah hilang seiring waktu. Bahkan kini keduanya cenderung menggunakan bahasa gaul kekinian karena tertular anak-anaknya.
Matahari semakin naik dan terasa menggigit. Peluh mulai menetes di kening. Kekesalan Ibu pun memuncak.
"Junaaaaaaa..... ndek ngendi kon??!!" (kamu di mana?) Ibu berteriak ke langit.
“Ada apa, Bu?”
Suara seorang laki-laki dewasa mengagetkan Ibu. Wanita itu langsung menoleh.
“Bang, lihat anak saya nggak? Yang ganteng tinggi, pakai motor gede warna merah dan perak?” Ibu bertanya pada tukang parkir yang mendekatinya.
“Oh, Mas yang bawa-bawa kerupuk mateng gede, ya?”
Ibu membenarkan. Seenggaknya, tuh anak beneran udah beli kerupuk!
“Tahu, Bu! Mas yang itu kayaknya udah pulang setengah jam lalu. Kelihatan mencolok banget soalnya. Makanya inget.”
Wajah Ibu memerah. “JUNAAAA!!! Kon wani ninggalno Ibu neng pasar!!??? Ancene njaluk dikaplok ndhase arek iki!!!” (Kamu berani ninggalin ibu di pasar?! Beneran pengen digaplok kepalanya bocah ini!)
***
Sementara itu, di rumah. Suara motor terdengar. Bapak, Yudhis, dan Bima langsung berhamburan keluar.
“Juna? Mana ibu?” Yudhis yang pertama menyadari kalau Ibu tidak ada di belakang adiknya.
“ASTAGFIRULLAH! JUNA LUPA TADI KE PASAR SAMA IBU!”
Bapak mengguncang bahu Juna hingga kerupuk dan plastik berisi sayuran di tangannya terlepas. “Lane hatop, lului jo Umak! Sanga mago anon, dang adong be Umak!” (pergi sana cepat, cari Ibu! Hilang nanti, nggak ada Ibu lagi!) seru Bapak gabungan antara panik dan kesal.
Mulut Juna menganga. “Bapak ngomong apa?”
“AAAAARGHHHHH!!!”
***
Untung saja Yudhis yang akhirnya berangkat menggantikan Juna daripada nanti Ibu baru pulang besok lusa gara-gara Juna nyasar lagi.
Juna masih bersimpuh memeluk paha ibu ketika akhirnya semua sudah berkumpul di ruang keluarga.
“Bisa-bisanya Dik Arjuna ninggalin Ibu, hah?” Ibu masih bersedekap memandang anaknya yang mengeluarkan ekspresi memelas.