Tabungin

Shireishou
Chapter #8

7. Kenapa Buku Matematika Suram? Soalnya Banyak Masalah


Ayam bahkan belum berkokok ketika kehebohan dapur sudah terdengar. Kelima anggota keluarga bangun bergantian. Ibu tentu saja paling awal bangun dan langsung membuat Bapak terjaga seperti ada alarm besar berbunyi.

Lampu dapur sudah menyala terang dan suara alat dapur beradu sudah menyemarakkan suasana. Ibu dengan celemek emas kesayangannya sudah mulai bersiap. Bapak yang masih separuh nyawa masih berjuang untuk membuka mata, sudah dihadapkan pada sebuah ulekan besar berisi aneka bahan bumbu rujak petis.

“Pak, ngulek bumbunya jangan halus-halus, tapi juga jangan kasar-kasar. Biar berasa ada tekstur tapi tetap mudah dimakan dan halus.”

Bapak membuka mulut heran. Kenapa bisa-bisanya dibilang punya tekstur, tapi juga halus? Bukankah itu berlawanan? Harusnya kalau halus kan nggak punya tekstur. Kalau punya tekstur ya nggak halus.  

“Gi-gimana caranya bisa halus, tapi bertekstur?” Setelah pertanyaan itu berputar-putar di kepala Bapak, akhirnya pria itu berani bertanya.

“Haluskan sampai serpihan kacangnya sampai berukuran sekitar 0,1 millimeter, Jadi terlihat halus, tapi saat masuk mulut, masih ada feel kacangnya.”

Ada kedipan mata Bapak dua kali mendengar jawaban ibu. “Iya sih, Ibu lulusan matematika, Tapi nggak pake mili jugaa!!!”

“Ish protes mulu. Kayak gini, nih!” Ibu mengambil alih ulekan dan mulai beraksi. Gerakan tangan Ibu begitu luwes menari di atas ulekan. Tak sampai lima menit, satu porsi siap dihidangkan. “Nih, cicip! Ibu udah sengaja bikin spesial satu porsi buat Bapak!” Senyum penuh kemenangan terukir di wajah Ibu.

”Ogah!”

“Ayolah, spesial Ibu buatkan porsi jumbo buat Bapak yang paling tercinta!”

AU NDAK SO MAKAN PETIS!!” [Aku nggak mau makan petis] jerit Bapak pilu.

Suara derap langkah serentak datang dari arah depan dan lantai dua. Ketiga anak laki-laki itu langsung terbengong di depan pintu dapur mendengar kehebohan Subuh-Subuh.

“Anak-anak, tolongin Bapak!! Bapak mengalami KDRT!” Bapak bergidik sambil bergerak menuju Yudhis. “Kepaksa menDeRiTa disuruh makan petis sama Ibu!”

“Jauh, ya, Pak?” Bima bergidik mendengar singkatan cringe barusan.

Dan Ibu justru tampak tertawa puas. Kehilatannya memang Ibu benar-benar ingin membalaskan 27 tahun kehidupan tanpa petis gara-gara Bapak!

***

Ibu sudah selesai mengumpulkan sepuluh pesanan di ruang tamu. Lengkap dengan plastik yang berisi nomor rumah masing-masing pemesan. Bapak bersiap mengambil beberapa kantong.

“Bapak jangan nganter. Biar Bima aja!” Cowok tinggi itu langsung mengambil alih semua kantong dari tangan Bapak. 

“Ke-kenapa?” Mau tidak mau, Bapak langsung heran.

“Gampang, Bima paling nganggur di rumah.”

“Juna juga nggak ada kegiatan, kok, Bang!” Cowok berkulit putih itu tersenyum lebar penuh semangat.

Bima menyengir setengah menahan tawa. “Kalau kamu yang anter, itu pesanan baru nyampe besok, gimana?”

Bibir Juna langsung maju beberapa mili mendengar ledekan abangnya.

“Ya udah, sekarang Bima berangkat dulu, Pak, Bu!” Bima bersalaman sebelum dibantu Juna mengepak pesanan ke motor dengan aman. 

Lihat selengkapnya