Tabungin

Shireishou
Chapter #9

8. Hewan Apa yang Selalu Tenang? Adem Ayam


Bima mengucap salam dengan sangat keras ketika masuk rumah malam itu. Wajahnya tampak berseri-seri dengan melakukan gerakan seolah sedang menari ringan sepanjang masuk ke rumah.

“Bang? Obatnya udah diminum?” Juna terpingkal melihat tingkah Bima.

“Tugas art nouveau Abang diterima dong! Dapat bagus! Semua berkat angka-angka dan huruf-huruf ajaibmu kemaren!” Bima mengacungkan jemari kedua tangannya membentuk pistol dan mengarahkannya ke Juna.

“Mandi dulu sana! Bau!” Bapak tertawa.

“Buruan mandi! Abang udah laper!” Yudhis mengelus perutnya yang sedikit membulat. 

“Diet, Yud!” Ibu menggeleng-geleng sambil meletakkan semangkok besar capcay dan lima potong ayam goreng mentega di meja makan.

Juna berbinar memandang makanan kesukaannya itu. “Kirain bakalan makan malam rujak cingur, Bu!” 

Ada tawa berderai. Ibu melebarkan senyumannya. 

“Masyaallah, Ibu makin cantik kalau senyum!” puji Bapak tulus. 

“Alhamdulillah pesanan tiga hari belakangan sold out terus. Haruskah kita naikin kuota pesanan?” Ibu duduk di kursi makan sambil menyesap air putih hangat kesukaannya. 

“Bapak encok nggak tuh?” Yudhis itu duduk dan mengambil piring kosong dari tumpukan di sisi meja. Matanya sudah terpaku pada potongan ayam terbesar di piring.

Bapak kuat, kok!” Bapak mengangkat tangannya ke atas berpose seperti binaraga, tapi kemudian mengaduh keras. 

Ibu nyengir. “Bapak kecetit, tuh! Nanti paling minta Bima buat pijit. Udah Ibu kasih salep sih tadi.”

“Siap. Nanti Bima pijit habis makan! Atau pas sebelum tidur aja biar langsung tidur.” Bima yang baru selesai mandi dan hanya memakai handuk menutupi auratnya melintasi ruang makan.

Yudhis menutup matanya dengan tangan kanan pura-pura terganggu. “Udah gede pakai baju sejak di kamar mandi, kek!”

“Ini bukan aurat!” Bima acuh tak acuh bergerak menuju kamarnya yang ada di belakang untuk memakai baju.

“Bang Yudhis iri tuh sama badannya Bang Bima!” Juna membela Bima sambil mencebik. 

“Dasar adiknya Bima!” Yudhis ikut mencebik. 

“Pak, Bu, mulai hari ini, Juna bukan adik Bang Yudhis lagi. Udah nggak diakui!” Juna mengusap sudut matanya dengan punggung tangan.

Ibu mengibaskan tangannya menyuruh semua anaknya duduk di bangku masing-masing. Dulu dirinya sering kesal bagaimana ketiga anaknya yang masih kecil selalu saling menggoda satu sama lain lalu berujung saling gebuk dan kadang sampai ada yang terluka. Sempat terpikir apa kelak mereka akan bertengkar sampai besar. Dia tak ingin sampai melihat anak-anaknya tetap saling baku hantam ketika dirinya atau Bapak meninggal.

Lihat selengkapnya