Senin Subuh yang melelahkan. Seluruh keluarga, kecuali Bima, tampak menderita sakit-sakit di sekujur badan. Mereka semua serempak tidur berjamaah sebelum Isya. Bahkan Ibu tidak sanggup membuka pesanan rujak cingur hari Senin karena badannya remuk redam.
Bima pun hanya bisa maklum. Memang usia nggak bisa bohong. Ketika datang ke event cosplay, yang diperlukan memang ketahanan fisik dan mental. Jangankan mereka yang berumur. Buat yang muda seperti Yudhis dan Juna saja, karena tidak terbiasa dengan kerumunan orang dan berjalan terus berjam-jam, pasti akan roboh juga.
Di kamarnya, Bima tercenung mengenang kekalahannya kemarin. Kalau bisa memilih, tentu Bima ingin habis-habisan membeli busa hati, aqua proof, kain, juga cat termahal untuk menghasilkan properti cosplay terbaik yang pernah dia buat.
Cowok itu pernah membuat cosplay armor emas seluruh badan dan memenangkan kompetisi cosplay dua tahun lalu. Namun, tentu saja dia tidak bisa sering melakukannya karena biayanya sama sekali tidak murah. Bima tak mungkin membuang-buang uang hanya untuk hadiah yang cuma bisa ‘balik modal’ dari semua biaya yang dia keluarkan. Masih ada adiknya yang hendak kuliah. Kalau orang tuanya tidak bisa membiayai, dia akan menggunakan tabungannya untuk membantu biaya kuliah Juna.
Selintas diliriknya piala yang berdiri gagah di atas lemari pakaiannya. Piala itu cukup besar dan terasa sangat membanggakan. Satu-satunya piala yang dia punya. Berbeda dengan zaman Ibu dulu, sekarang, persaingan semakin banyak dan ketat. Orang dengan skill besar pun makin banyak tersebar di mana-mana. Belum lagi banyak alat canggih yang semakin mendukung semuanya.
Bima mengempaskan tubuhnya ke kasur. Pandangannya menerawang ke langit-langit kamar mencari jawaban bagaimana caranya dia bisa mendapatkan uang tambahan yang bisa dikerjakan dengan modal seminim mungkin.
Pemenang lomba cosplay kemarin memakai kostum robot besar dan gagah. Bahkan Juna yang dikerubuti pengunjung pun tetap kalah. Jelas saja kalah. Pertama, kostium mereka tidak rumit dan megah. Kedua, sepanjang berjalan, mereka berdua sangat out of character. Padahal juri bisa ada di mana-mana dan menilai kapan pun. Jika terlihat out of character, pasti akan langsung mengurangi poin.
Cowok itu tidak sanggup kalau harus berwajah jutek sepanjang jalan. Apalagi Juna. Adiknya itu sangat ramah dan tersenyum kepada siapa pun yang menyapanya. Mode Zyd yang cool dan senyum tipis seperlunya jelas ambyar di tangan adik kesayangannya itu.
“Bang? Assalamualaikum.” Suara ketukan pintu kamar terdengar.
Bima bangkit dan membukakan pintu untuk Juna. Meski tidak dikunci, Juna terbiasa mengetuk pintu. Beda dengan Yudhis yang selalu selonong boy! Betapa terkejutnya melihat adiknya itu tampak sangat semringah dengan gawai yang ditunjukkan ke arahnya.
“Kita viral, Bang!” Juna tertawa.
“Nani?!” Bima menyambar gawai Juna dan terbelalak.
“Ada yang candid pose kita pas Abang megangin tanganku biar nggak nyasar kemarin.”
Bima menepuk dahinya keras. Daripada urusan dipegangin tangan, ini lebih ke pose posesif dirinya yang tulus khawatir pada Juna. “Ini cewek-cewek kenapa semua, deh? Abang adek dikasih caption aneh-aneh gini. Ntar kalau Ibu lihat, kita beneran nggak boleh lagi ke event!” Bima memberengut kesal.
Juna hanya mengangkat bahunya tak peduli. “Kita nggak bisa mengatur orang lain, sih, Bang. Yang penting niat di hati kita kan bukan untuk memuaskan para fujoshi [perempuan penggemar boys love], itu! “
Bima lagi-lagi menarik napas. “Iya, sih. Sama kayak ada yang lagi makan sendirian di resto, tiba-tiba direkam trus dikasih caption bersyukur.” Dia mengempaskan bokong ke kasur diikuti Juna yang duduk di sebelahnya. “Tapi, Abang tetep nggak suka! Soalnya, jadi kayak melanggar privasi nggak, sih? Kita kan bisa pose kalau mereka minta. Asal nggak pose mancing otak fujoshi gitu!”
Juna membenarkan. “Tapi, ya udah terlanjur. Mending kita manfaatin aja momen ini buat cari duit!”