Bapak dan Ibu yang juga mengamati proses penyelidikan kedua anaknya pada semangkuk bakso di ruang tamu, terlihat kesal. Ibu bahkan tidak bisa menahan amarahnya ketika melihat dengan jelas rambut hitam yang muncul di sela-sela bakso. Tidak hanya satu helai, tapi ada beberapa lagi di bakso lainnya.
“Ini ngawur! Astagfirullah! Allahuyahdik!” Ibu mengelus dadanya yang terasa terbakar api amarah. Sudah masak bakso tikus, beraninya memfitnah rujak cingur buatannya menggunakan cingur babi! Sontoloyo tenan! “Pengin Ibu pites pake ulekan biar dia ngerasain rujak cingur langsung dari sumbernya.”
“Bu! Jangan, Bu!” Bapak langsung berseru panik. “Kasihan…. Ulekannya…. Xixixixi.”
“Paaaak!” Ketika anaknya berteriak bersamaan. Sempat-sempatnya Bapak nge-joke di saat Ibu lagi spanneng level gunung Krakatau mau meletus begitu.
“Joke aside,” kata Bapak mencoba menenangkan. “Kita nggak boleh gegabah dan harus bertindak dengan bijak.”
“Bijak piye maneh? Lha wong Ibu wes difitnah, dielek-elekno, njur de’e malah sa’enak udel e dodolan bakso tikus. Yo kan as….. Astagfirullaaaaah!!” Ibu nyaris mengumpat.
“Tolong translasinya…..” Bapak menatap Ibu bingung.
“Ya intinya, Ibu mau labrak tuh mbak-mbak centil! Mana beraninya godain anak-anak Ibu! Pingin tak hiiiiiiiih!!!” jemari Ibu membentuk pose mencakar seolah siap mencekik Inem.
Tiba-tiba Bapak merengkuh tubuh kurus Ibu. “Sabar, istighfaaar. Coba … tariiiik….. Embuskaaaan……”
Semua orang yang ada di sana tanpa sadar ikut mengatur pernapasan. Setelah Ibu terlihat agak tenang, Bapak pun mulai menjelaskan rencananya.
“Meski, ini udah jelas banget ciri bakso tikus, tapi kita nggak bisa serta merta langsung main labrak ke sana. Gimana kalau dia ngeles, kurang bukti. Atau bahkan, ‘Ah, itu cuma fitnah aja. Itu belum tentu bakso dari kedai saya! Malah bukannya situ yang bikin cingur babi!’” Bapak seolah berusaha menirukan suara Inem yang disambut tawa semua orang di sana.
“Ya trus harus gimana?” Ibu mulai agak tenang.
“Kita main cantik, Bu.” Bapak mengangkat jempolnya. “Lapor dulu ke Pak RT pura-pura kaget. Nggak usahlah bawa-bawa kalau kita lagi difitnah dan anak kita lagi nyari bukti pemfitnah. Fokus ke kita menemukan bahwa bakso Inem dicurigai memakai daging tikus.”
Juna tampak paham. “Betul juga. Apalagi bu Inem dan kita kan memang satu RT, ya!”
“Habis itu pasti Pak RT akan bawa ke Pak RW! Dan rumah Pak RW yang baru itu hadap-hadapan sama kedai Bu Inem, kan, kalau nggak salah?” Bima berusaha mengingat-ingat.
“Tepat!” Bapak tertawa kecil. “Otomatis laporan seperti ini akan dibawa ke RW. Dan Pak RW yang rumahnya kebetulan dekat sama Inem, pasti nggak mau dong kalau namanya kecoreng gara-gara membiarkan ada penjual bakso tikus berkeliaran?”
Mulut Ibu membulat mendengar penjelasan Bapak.
“Kalau kita main gerebek sendiri, nanti malah bikin masalah baru yang nggak perlu. Inget, kita nggak punya waktu buat ikut keseret-seret misal harus laporan ke polisi dan lain-lain. Biar Pak Rt dan Pak RW aja yang ngurus.” Bapak tampak puas setelah menjabarkan semua yang ada di kepalanya.
Ibu menghela napas berat, tapi akhirnya mengangguk setuju. “Ini memang harus lebih sabar lagi, tapi memang risikonya lebih minim.”
“Ya udah, kita langsung cus ke rumah Pak RT!” Bapak mengajak.