Yudhis menoleh dan melihat Ibu Daffa masuk dengan senyum tersungging di wajahnya yang dipulas dengan sempurna. Pakaian kerja yang dikenakan wanita cantik itu terlihat berkelas dengan rambut sebahu yang ditata apik dan profesional. Yudhis pun bangkit dan berdiri tak jauh dari hadapan Bu Melani.
“Bagaimana perkembangannya? Apa sekarang Daffa sudah ahli matematika?”
GIMANA MAU AHLI, BU? PERKALIAN AJA BELUM BISA!
Namun, tentu saja senyum paling manis Yudhis berikan. “Daffa butuh banyak belajar, Bu. Mungkin selain di jadwal privat dengan saya, dia bisa belajar mandiri untuk menghafal perkalian. Karena perkalian adalah fondasi awal semua soal di matematika.”
Namun, Bu Melani malah menggeleng tegas. “Sembilan puluh menit setiap weekend sudah cukup banyak baginya. Mana saya tega dia belajar lebih banyak lagi. Di sekolah saja sudah seharian setiap Senin-Jumat.”
YA, KALAU DIA UDAH BISA SIH NGGAK APA-APA ISTIRAHAT, TAPI INI KAN BELUM!!!
“Kalau begitu, saya bantu dia menghafal perkalian dulu? Karena pelajaran matematika kelas satu sudah mulai perkalian bertumpuk ratusan.”
“Terserah! Pokoknya saya mau anak saya lulus. Di sekolahnya yang baru ternyata tidak pasti naik kelas. Kalau matematikanya di bawah lima puluh, bisa tidak naik.”
MAKANYA BELAJARNYA DIBANYAKIN, IBUUUU!!!!!
“Saya lihat dulu perkembangan hari ini, ya, Bu. Jika Daffa bisa menghafal dengan baik, mungkin besok Minggu sudah bisa masuk ke latihan soal, Tapi kalau bisa, besok saya masih akan fokus dengan perkaliannya,” putus Yudhis daripada dia membuang-buang waktu lebih banyak lagi.
Yudhis berusaha sabar. Dia tahu tugasnya bukan hanya mengajarkan pelajaran, tapi juga menumbuhkan motivasi dalam diri Daffa. Namun, itu tidaklah mudah, terutama dengan lingkungan yang begitu memanjakan dan tanpa adanya dorongan dari orang tua.
"Oh, bagus. Tapi jangan terlalu keras ya, Yudhis. Daffa harus belajar dalam suasana yang nyaman. Kalau dia terlalu tegang, dia malah tidak akan bisa menyerap apa-apa," kata Bu Melani sambil mendekati bocah itu dan mengelus rambutnya dengan lembut.
Daffa tersenyum lebar, seolah mendapatkan pembelaan yang diharapkannya.
Yudhis merasa frustasi, tetapi dia tahu bahwa berdebat dengan Bu Melani hanya akan memperkeruh keadaan. Dia belum membuktikan apa pun. Mereka belum belajar apa pun!
"Baik, Bu. Saya akan mencoba pendekatan yang lebih santai," jawab Yudhis diplomatis, meski dalam hatinya dia tahu ini bukan solusi yang tepat.
Bu Melani tersenyum puas, lalu keluar dari kamar, meninggalkan Yudhis dan Daffa kembali dalam suasana yang canggung. Yudhis berusaha menahan diri untuk tidak menunjukkan kekesalannya. Dia paham, sebagai guru, dia harus profesional dan tidak boleh terbawa emosi. Apalagi tampaknya Daffa juga bukan anak bandel. Dia hanya terlalu dimanja.
“Oke, sekarang coba Bapak pengin tahu kamu hafal perkalian berapa aja?”
“Dua sama tiga aja,” Jawab Daffa dengan nada bangga.