Uko menghidu aroma ikan tongkol goreng buatan Ibu. Buru-buru Juna memasang tali pengikat agar Uko tidak berlarian dan menakuti Ibu.
“Bapak minta bang Yudhis gorengin ikan tongkol lagi. Ibu semedi di kamar. Untuk sementara Bang Yudhis yang akan memasak semua makanan kita.” Bapak sudah duduk di meja makan.
Mulut Juna membentuk huruf o sebelum mengucapkan terima kasih pada abangnya.
“Pengin Abang presto, tapi kok males banget. Kita aja nggak dipresto, kan?” Yudhis terkekeh.
Bima menatap takjub ke arah adiknya yang masih memisahkan daging dengan durinya. “Jun, apa nggak kita rawat aja kayak kucing biasa gitu? Fokus dikasih makan sama diajak main aja. Nggak usah lah pakai lihat matahari, pake musik apalah.”
Juna menghela napas. “Kira-kira bakal gimana, ya, Bang?” Pemuda itu mencampurkan ikan dengan makanan kemasannya supaya makanan kemasannya terasa berkurang dan tidak terkesan Juna tidak memberi Uko makan sama sekali.
“Ya, itu baru satu hari satu malam aja, matamu udah berkantung gitu. Gimana nanti?” Yudhis ikut menambahkan.
Bapak mengangguk setuju. “Yang penting kan kucingnya sehat, masih kamu rawat, ajak main, tidak kamu pukuli, Bapak rasa itu sudah lebih dari cukup.”
Kali ini Juna bangkit membawa piring kertas berisi tulang ke arah wastafel dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di bawahnya. Setelahnya, pemuda itu membersihkan tangan dengan air mengalir dan sabun.
“Rutinitas siangnya nggak gitu capek, sih. Masih bisa lah diatasi meski emang nyebelin Malam ini, dia nggak mau tidur kalau tidak di kepalaku. Jadinya, susah tidur,” keluh Juna akhirnya.
”Mau gantian Abang yang jagain kalau malam?” Bima merasa kasihan pada adiknya.
Juna menggeleng. “Enggak. Bahaya. Di tempat Abang banyak kertas tugas. Kalau dikencingin gimana? Ini aja dia ngencingin mejaku semalam.”
Mulut Bima membuka lebar menandakan keterkejutan yang sangat.
Yudhis menepuk bahu adiknya. “Ya, pokoknya, kalau kamu butuh bantuan… WHO YOU GONNA CALL?”
“CAT BUSTEEEER!” sambar Bapak yang langsung mendapat tawa keras dari Yudhis.
Hanya berdua yang tertawa….
***
Pada hari ketiga, Juna berada di ambang kelelahan mental. Uko makin enggan memakan makanan kemasan. Dia juga tidak lagi harus bermain dengan benang merah. Dia senang main dengan apa saja termasuk kardus bekas di belakang. Juna sedikitnya khawatir karena mengubah kebiasaan Uko pelan-pelan. Di sisi lain, Uko tampaknya baik-baik saja, tetap energik dan senang bermain dengan Juna jika ada kesempatan.
Akhirnya malam pun menjelang. Harusnya Uka dan Uki sudah datang dari pagi, tapi malah molor hingga malam.
“Mana tuh owner? Nggak balik-balik. Mana nggak boleh dikontak, ya?” Yudhis duduk di ruang tamu menunggu sambil menggerak-gerakan kakinya. Jemarinya entah sudah berapa kali membongkar pasang rubik 4x4 dengan cepat.
“Katanya mau mampir beli oleh-oleh dulu sebelum ke sini?” Juna menjawab. Hanya ada satu pesan dari Uka tadi pagi. Juan padahal sudah membereskan semua perkakas Uko sejak pagi. Hingga akhirnya Uko terpaksa pipis dan buang air besar di taman belakang. Jadilah pupuk kandang alami.
“Semalam ini?” Bapak tampak heran.
“Buat kita?” Bima tak kalah penasaran.