Bima tampak tidak tenang dengan perbuatan Bapak barusan. Biasanya Bapak melontarkan joke cringe, tapi ini malah diam saja dan pergi. Something wrong happened!
Firasat Bima meneriakkan sesuatu yang tidak beres. Dia pun dengan mengendap-endap langsung melipir ke kamar adik kesayangannya.
“Something odd, Jun!” Bima duduk di kursi komputer sementara Juna memilih duduk di tepi ranjang sambil memainkan pulpen yang tadi dipakainya untuk mengerjakan latihan.
“About what?”
“Bapak,” balas Bima singkat. “Dia tiba-tiba murung. Bener-bener murung. Gloomy, so sad gitu, lho!”
“What happened?”
Bima mengangkat bahu. “Itu yang Abang bingung. Abang udah tanyain, tapi Bapak malah ninggalin Abang gitu aja nggak ngomong apa-apa sesudah kata ‘Bapak’ yang menggantung.”
“Kayaknya soal staycation, deh!” Juna langsung bisa memperkirakan kemungkinan.
“Uangnya belum cukup kayaknya, ya?”
Kali ini Juna setuju. “Ya emang bukan hal mudah ngumpulin duit tiga puluh juta kurang dikit dalam tiga bulan dengan posisi nggak ada yang kerja full time lagi. Bapak kayak terpukul banget nggak, sih?”
Bima menyugar rambutnya ke belakang. Lengannya bertumpu ke meja sambil menyangga kepalanya yang sedikit berdenyut. “Apa Bapak merasa bersalah karena rencananya gagal? Maksud Abang, sebagai programer kan biasanya perfeksionis gitu. Semua program harus berjalan sesuai dengan rencana. Nah, ini kayaknya rencana Bapak yang ini nggak sesuai harapan.” Ada jeda napas sedikit.
“Terus kurang berapa ya kira?” Juna ikut berpikir.
“Feeling abang kayaknya masih kurang 10-15 juta lagi, deh!”
Juna mengangguk. “Dapat duit dari mana ya dalam sebulan ini?”
Dan Bima pun hanya bisa mengangkat bahu.