Ibu menghela napas panjang setelah Bapak menghilang di balik pintu kamar. Dia menoleh kepada ketiga anaknya yang masih duduk di sana dengan ekspresi bingung. "Biarkan Bapak dulu. Ada yang harus Ibu bicarakan sama kalian."
Kemudian Ibu berdiri dan menyuruh ketiga anaknya menuju meja makan yang jauh dari kamar tidur utama. Mereka berempat kemudian pindah ke meja makan, mencoba mengumpulkan ide yang solutif. Suasana sedikit lebih rileks dibandingkan sebelumnya, tapi ketegangan masih terasa di udara.
"Bapak kenapa, sih?" tanya Juna, memecah keheningan. "Kita kan cuma mau cari solusi, nggak ada niat buat bikin Bapak marah."
Ibu tersenyum tipis ketika tangannya meletakkan teko ke kompor untuk menjerang air panas. "Bapak kayaknya lagi tertekan. Bapak merasa ingin memberikan yang terbaik, tapi kenyataannya uang kita nggak cukup. Mungkin dia merasa gagal dan itu yang membuatnya marah."
Yudhis mengambil puding dingin dari kulkas dan membagikannya pada empat orang di sana termasuk dirinya. "Kita bisa bantu cari solusi lain. Kalau Bapak tetap mau ke Bunaken, kita coba cari travel yang lebih murah. Siapa tahu ada promo menit-menit terakhir yang bisa kita manfaatkan."
Bima yang cenderung lebih efisien, menambahkan, "Atau kalau nggak bisa ke Bunaken, kita bisa cari destinasi lain yang masih di seputar laut. Bali atau Lombok mungkin lebih terjangkau."
“Kayaknya tujuan Bapak kan membahagiakan Ibu dengan melihat tukik.” Juna menambahkan.
Yudhis membuka gawainya sambil menikmati puding dingin untuk menenangkan diri. "Gimana kalau kita langsung kontak beberapa travel agent? Kasih tahu situasi kita, siapa tahu mereka bisa kasih harga khusus. Mungkin kita bisa dapat diskon? Kan kita paket banyak orang."
Ibu tersenyum tipis, merasa sedikit lega mendengar inisiatif dari anak-anaknya. "Baiklah, coba kalian cari travel yang sesuai. Ibu akan coba bicara dengan Bapak lagi nanti kalau dia sudah agak tenang. Mungkin dengan pendekatan yang lebih lembut."
Anak-anak mengangguk dan segera mulai bekerja. Yudhis dan Bima sibuk dengan laptop masing-masing, mencari berbagai opsi travel. Juna mengambil ponselnya dan mulai mencari nomor kontak travel agent di sekitar mereka. Ibu duduk diam, berusaha menenangkan dirinya sambil berpikir tentang bagaimana cara terbaik berbicara dengan Bapak tanpa memicu kemarahan lagi.
Bapak tidak pernah marah padanya. Setidaknya sebelum pensiun. Sama seperti dirinya yang berubah menjadi pemarah setelah pensiun.
Ibu memijit pangkal hidungnya yang terasa sakit. Perubahan mendadak meski sudah dipersiapkan bertahun sebelumnya, tetap membawa dampak. Rasanya tetap membingungkan. Dirinya sendiri merasakan mudah terpancing oleh hal-hal kecil. Karena itu, dia berusaha tidak sampai terpancing ini.
Selama ini Bapak yang mengalah untuknya. Kini, Ibu yang akan mengalah demi Bapak.
Bukankah itu arti sebuah pernikahan?
***
Malam itu, setelah anak-anak tidur, Ibu masuk ke kamar dengan hati-hati. Kamar itu gelap, hanya diterangi oleh lampu meja yang redup. Bapak duduk di atas tempat tidur, punggungnya bersandar pada dinding. Matanya tertutup tetapi wajahnya terlihat penuh beban.