Bapak sudah beberapa waktu duduk di pojokan kafe yang sudah tidak asing lagi baginya. Kedai kopi yang sebenarnya tidak jauh dari rumah itu menawarkan ketenangan yang Bapak cari. Tempat yang cukup sunyi untuk menyendiri, tapi tidak terlalu sepi sehingga membuatnya merasa terisolasi. Di atas meja kayu yang tergores halus oleh usia, sebuah cangkir kopi hitam sudah setengah diminum. Kopi itu mulai dingin, sama seperti semangatnya yang perlahan-lahan memudar.
Dia menatap tablet canggih di tangannya dengan pandangan kosong. Jarinya perlahan-lahan mengusap layar, membuka halaman demi halaman dari sebuah situs travel agent dari beberapa situs yang sudah dia jelajahi beberapa waktu terakhir. Pencarian itu terasa tak ada habisnya. Harga yang Bapak lihat selalu membuat hatinya ciut. Setiap kali ia menemukan paket wisata ke Bunaken, angkanya selalu jauh di atas batas anggaran yang ia tetapkan. Batas yang dipikirnya sudah maksimal—20 hingga 23 juta untuk berlima—ternyata sulit untuk diwujudkan.
Kafe itu, dengan musik jazz yang mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan, seharusnya bisa membuat pikiran Bapak lebih rileks. Namun, pikiran pria paruh baya itu terlalu penuh dengan berbagai kekhawatiran yang tak kunjung pergi. Suara mesin espreso yang berdengung di kejauhan, bunyi dentingan cangkir dan sendok dari barista di balik meja, serta obrolan rendah beberapa pengunjung lainnya—semuanya terasa seperti latar belakang yang jauh, terlalu jauh untuk bisa memberikan kenyamanan. Kepala Bapak dipenuhi dengung rasa amarah dan kekesalan yang menutupi segala keindahan.
Di luar, langit mulai mendung. Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela kafe, membuat dunia di luar terlihat sedikit kabur. Bapak menatap keluar, melihat tetesan air yang perlahan mengalir turun di kaca.
Mirip masalah. Saling seret hingga semuanya jatuh! pikirnya. Semuanya terlihat sederhana, tapi lama-lama menenggelamkan.
Sudah beberapa hari terakhir ini Bapak merasa tertekan. Di rumah, suasana selalu tegang. Rencana liburan yang seharusnya menjadi pelarian dari penat malah berubah menjadi sumber stres baru. Semua orang di rumah punya pendapat masing-masing, dan pendapat-pendapat itu tidak selalu sejalan dengan apa yang Bapak inginkan. Dia sudah mencoba memahami alasan istri dan anaknya berbuat demikian. Namun, semakin dia berusaha, semakin sulit untuk menghindari rasa ketidakberdayaan yang terus menyelimuti.
Dia benar-benar ingin pergi ke Bunaken. Melihat tukik berenang di air biru jernih, menikmati keindahan bawah laut yang menakjubkan—itu semua sudah ada di pikirannya sejak lama. Ibu sangat ingin menikmati itu semua. Wisata yang tidak bisa didapatkan di tempat lain! Hanya Bunaken yang terkenal dengan keindahan bawah lautnya. Bapak ingin melihat Ibu kembali tertawa.
Namun, setiap kali ia berusaha membicarakan rencana itu di rumah, semuanya seakan berbalik melawan keinginannya.