Rumah kini dipenuhi keheningan yang juga berselimut ketegangan tak terperi. Ibu masih terdiam bahkan tak bisa berdiri dari kursinya. Tangannya gemetar ketika berusaha mengambil tisu di meja.
Bima tanggap dan langsung menggenggam tangan Ibu yang berkeringat dingin. Bibir Ibu hanya bisa mengucap istighfar berulang.
Di lain pihak, Juna segera ke dapur membuatkan teh hangat bagi Ibu, sementara Yudhis menelepon bank agar dana Bapak ditarik. Yudhis tahu semua data penting Bapak jadi dia bisa menyamar jadi Bapak dan melaporkan soal uang yang tertipu. Namun, ternyata Bank Bapak tidak bisa membantu. Sementara bank tujuan butuh surat laporan polisi.
Polisi di malam hari, di akhir Minggu, penipu pasti sudah langsung menarik dananya. Habis sudah!
"Ya Allah, apa yang sudah terjadi? Apa yang sudah Bapak lakukan?" gumam Ibu pelan, nyaris tanpa suara. Pikirannya tak bisa berhenti membayangkan wajah suaminya yang tadi tampak begitu berseri-seri saat menyampaikan kabar tentang liburan itu.
Sekarang semua berubah menjadi rasa takut yang mendalam. Bapak yang begitu bersemangat itu sekarang entah berada di mana. Ibu merasakan napasnya semakin pendek ketika panik mulai merayap ke dalam dirinya.
Dua puluh juta…..
Ibu berusaha tersenyum, tapi hanya lengkungan bibir yang terasa. Dua puluh juta memang besar, tapi ada yang lebih Ibu cemaskan daripada itu.
Teringat ketika Yudhis masih TK, Bapak pernah kehilangan laptop dengan harga sekitar itu jika mengikuti harga inflasi. Bapak murung berhari-hari. Frustrasi. Menyalahkan diri sendiri.
Ibu tahu betul bagaimana suaminya. Jika melakukan kesalahan, stresnya akan berkepanjangan. Apalagi sejak pensiun, Bapak sering terlihat bengong. Joke cringe-nya masih ada, tapi tidak sefrontal dulu. Joke itu untuk menutupi hatinya yang rapuh. Mungkin sama seperti Robin Williams yang akhirnya bunuh diri.
Ibu khawatir Bapak merasa tidak lagi berguna. Kehilangan pekerjaan yang selama bertahun-tahun menjadi identitas dirinya, membuatnya terjebak dalam kekosongan. Dan kini, dengan kejadian ini, Ibu takut ... Sangat takut kalau Bapak mungkin akan melakukan sesuatu yang nekat.
Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri meski sulit. Matanya perlahan tertutup, dan dengan lembut, ia mengadahkan kedua tangannya dalam posisi berdoa. "Ya Allah, lindungilah suamiku. Jangan biarkan dia melakukan hal yang merugikan dirinya sendiri. Aku tahu dia pasti sangat stres... sangat tertekan…. Namun, jangan sampai dia menyerah. Jangan sampai dia berpikir untuk…."
Ibu tak berani melanjutkan pikirannya. Hatinya terasa berat hanya dengan membayangkan kemungkinan terburuk itu. Bisik-bisik dari tetangga tentang beberapa kenalan mereka yang menderita post power syndrome dan akhirnya bunuh diri tiba-tiba menghantui pikirannya. Ia menggigit bibir, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk.
“Minum dulu, Bu?” Bima mengangsurkan gelas berisi teh hangat, tapi tangan Ibu terlalu gemetar, hingga Bima yang membantu Ibu meminumkan air teh hangatnya.
Ibu memaksakan diri minum untuk menenangkan diri. Juna berkali-kali berusaha menghubungi Bapak, tapi gagal. Telepon Bapak mati.
Di ruang tengah, Yudhis berdiri dengan gelisah. Tangannya tak henti-hentinya mengetikkan pesan di ponselnya, menghubungi teman-teman dan kenalan, mencoba mencari cara mengatasi penipuan ini.
Nihil!
Di sampingnya, Juna mondar-mandir dengan cemas, sesekali melirik ke luar jendela, berharap Bapak muncul di balik pintu.