Tabungin

Shireishou
Chapter #32

31. Kebahagiaan Bersama

Bapak berdiri di tepi jembatan yang sepi, angin malam menusuk kulitnya. Ia memandang jalanan yang dipenuhi mobil lalu lalang dengan lampu warna emas dan merah berlawanan. Pepohonan di tepi memantulkan cahaya bulan yang tersamar lampu dari tiang-tiang tinggi tepi jalan. Malam ini sebenarnya masih ramai seperti biasa, tapi di telinga Bapak, semua terasa tenang. Seperti dunia telah menyerah bersama dirinya. Tidak ada suara klakson mobil, tidak ada obrolan orang lewat, hanya deru angin dan cahaya berseliweran bawah jembatan. 

Di sinilah akhirnya, pikir Bapak. Setelah segala usaha sia-sia, semua tekanan mengimpit, hanya ini satu-satunya jalan keluar.

Tangannya bergetar ketika Bapak meraih pagar besi yang dingin. Sebuah embusan angin membuatnya terhuyung, tapi dia berhasil menyeimbangkan diri kembali. Satu langkah lagi, dan semua ini akan berakhir.

Tidak akan ada lagi penyesalan, tidak akan ada tatapan kosong istri dan anak-anaknya yang meminta penjelasan yang tidak bisa ia berikan, tidak akan ada rasa hampa setiap kali membuka mata di pagi hari.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!!!”

Suara jeritan membelah ketenangan malam dan juga ketenangan yang Bapak rasakan. Bapak langsung menoleh dan melihat seorang pria seusianya juga memanjat pagar jembatan hanya beberapa meter di sebelah kanannya dengan satu kaki sudah di atas pagar besi.

Bapak langsung terkesiap. Jantungnya langsung berdegup lebih cepat. Seolah melihat cermin dirinya sendiri, ia tahu apa yang akan terjadi jika ia tidak bertindak. Dengan cepat, Bapak berlari dan menarik lengan pria itu.

"Jangan!" serunya, suaranya terdengar parau. Tangannya berhasil menggenggam lengan pria itu, dan dengan sekuat tenaga ia menariknya turun dari pagar besi.  Keduanya pun bergulingan berdua di tepian jembatan. Pria itu meronta, mencoba melepaskan diri, tapi Bapak tidak membiarkannya.

"Apa yang kau lakukan?!" teriak pria itu, masih berusaha melepaskan diri. "Biarkan aku mati saja!"

"Tidak!" tukas Bapak tegas. "Aku tidak akan membiarkanmu melompat."

Pria itu terdiam sejenak, napasnya terengah-engah. Bapak masih menggenggam lengannya erat, tidak ingin memberi kesempatan sedikitpun bagi pria itu untuk kembali mencoba melompat.

"Kenapa?" tanya pria itu akhirnya, suaranya pelan, hampir seperti bisikan. "Apa kamu kenal aku? Kenapa kamu peduli?"

Bapak tidak segera menjawab. Ia sendiri tidak yakin mengapa ia begitu bersikeras. Mungkin karena ia melihat bayangan dirinya sendiri pada pria itu, atau mungkin karena ia tahu, jika pria ini melompat, maka segalanya akan terasa semakin gelap dan tanpa harapan.

Apa ini bentuk kesadaran sendiri? Hal yang sebenarnya sudah ada, tapi tenggelam bisikan setan yang membujuk tentang indahnya kematian. 

"Mari kita ngobrol dulu," kata Bapak akhirnya. "Aku yang traktir bagaimana?"

Pria itu tidak merespon, tapi akhirnya ia juga tidak lagi berusaha melawan. Bapak mengambil kesempatan ini untuk menariknya menjauh dari pagar jembatan, menuju bangku kayu yang ada di dekat situ. Mereka duduk berdua di sana, sementara angin malam terus berhembus. Suasana begitu hening, hanya terdengar suara napas mereka yang terengah, dan isak tangis pria itu yang perlahan mulai mereda.

Bapak tidak langsung bicara. Ia tahu, kadang kata-kata tidak selalu membantu. Ia hanya duduk di samping pria itu, menunggu sampai pria itu siap untuk berbicara. Beberapa menit berlalu dalam keheningan, sampai akhirnya suara perut yang berbunyi memecah keheningan.

“Kamu siap makan?” Bapak tersenyum lembut menatap pria dengan rambut yang memutih itu. Mungkin usianya sepantar dirinya.

Pria itu tak menggeleng, tapi juga tidak mengangguk. Maka Bapak membimbing pria asing itu menuju salah satu kedai terdekat. Mereka berdua berjalan menyusuri jalanan sepi itu, menuju warung kecil di ujung jalan. Warung itu sederhana, hanya beberapa meja dan kursi kayu yang tampak usang, dengan lampu kuning yang menerangi bagian dalamnya. Seorang wanita tua berdiri di balik etalase, tersenyum tipis saat mereka masuk. Kedai pecel ayam yang masih buka di hampir tengah malam kali ini. Aroma gurih ayam dan lele goreng membuat perut pria itu kembali berdansa.

Bapak memesan dua porsi nasi pecel ayam dan dua teh hangat. Bukan kopi, pikirnya, karena kopi hanya akan membuat mereka semakin gelisah. Teh panas dan nasi uduk terasa lebih menenangkan. Sesuatu yang sederhana tapi cukup untuk membuat mereka merasa sedikit lebih baik.

Lihat selengkapnya