Pagi menjelang. Bima membuka mata saat alarm, gawainya menunjukkan pukul tiga pagi. Semalam dia sudah membagikan kisah Bapak, lengkap dengan segala detailnya. Dia berharap akan viral hingga hukum di negaranya bisa bergerak. Ia percaya bahwa dengan mengangkat kebenaran ke permukaan, ada kemungkinan dunia akan mendengar. Namun, kenyataan tak selalu seindah harapan.
Bima ingin langsung melihat respons yang diterima dari postingannya di Twitter, Instagram, dan TikTok. Ia membuka ponselnya dengan jantung berdebar, tapi yang ia lihat hanya beberapa retweet dan komentar-komentar singkat. Tidak ada ribuan likes atau komentar berempati seperti yang ia bayangkan.
Di Twitter, postingannya tenggelam di antara banjir berita-berita lain. Di Instagram, fotonya hanya mendapat sedikit perhatian, dan videonya di TikTok nyaris tidak mendapat views. Tidak ada yang viral. Tidak ada yang benar-benar peduli dengan cerita yang ia bagikan.
Kepalanya terasa berat saat ia menatap layar ponselnya yang terang di tengah suasana menjelang Subuh yang masih memang gelap.
Rasa frustrasi mulai merayap naik, menggantikan harapan yang semula ia pegang erat. Ia mengira, jika dunia tahu apa yang terjadi pada keluarganya, keadilan akan datang. Bahwa orang-orang akan berdiri bersamanya. Tetapi, kenyataannya tidak seindah itu. Dunia sibuk dengan masalahnya masing-masing.
Akan tetapi, Bima tertawa pendek. Seandainya Uka dan Uki tahu kalau dirinya tidak se-influencer yang dibayangkan, apa wanita itu akan terus menekan adiknya? Syukurlah kedua makhluk ajaib itu mundur begitu mendengar gertakannya. Padahal, meski punya 50 ribu follower, tidak menjamin dirinya bisa membuat sesuatu yang viral. Semua memang urusan takdir Allah.
Bima menghela napas panjang dan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. “Mungkin ini memang jalannya,” gumamnya pelan mencoba menerima kenyataan bahwa uang Bapak akan benar-benar hilang.
***
Beberapa minggu selanjutnya, keluarga Bapak disibukkan dengan persiapan ujian Juna dan proses pelaporan kejadian penipuan menggunakan balasan Google review ke polisi. Bapak berharap setidaknya hukum akan berpihak padanya. Bersama keluarganya, ia pergi ke kantor polisi dengan membawa bukti-bukti yang ia punya—e-mail, dokumen, dan catatan komunikasi dengan admin. Mereka menunggu dengan sabar, berharap bahwa laporan ini akan menjadi langkah pertama menuju keadilan.
Sayangnya, proses itu jauh lebih lambat dan rumit daripada yang mereka kira. Polisi menerima laporan Bapak dengan sikap formal dan prosedural, tapi tidak ada kemajuan berarti setelah beberapa minggu. Setiap kali Bima mencoba menindaklanjuti, jawabannya selalu sama: penyelidikan masih berlangsung, tapi bukti-bukti tidak cukup kuat untuk menuntut tindakan lebih lanjut. Akhirnya, laporan itu berakhir di meja birokrasi tanpa hasil yang jelas.
Bapak mulai merasakan ini saatnya menyerah dan menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa dilakukan. Meskipun mereka telah berusaha sekuat tenaga, dunia tampaknya tidak memberikan ruang untuk keadilan yang mereka harapkan. Momen-momen itu terasa seperti langkah mundur, mengembalikan mereka ke posisi awal di mana segala sesuatu terasa tidak adil dan penuh tekanan.
Akan tetapi, Bapak sudah banyak belajar. Bahwa takdir adalah sesuatu yang tidak bisa dilawan meski sudah berusaha. Manusia tidak bisa menebak takdir. Jadi tugas Bapak hanya berikhtiar semaksimal mungkin. Sisanya, biar takdir yang menentukan.
Kadang, masalah itu hadir bukan untuk dicari solusinya seperti yang miskin jadi kaya, atau penjahat akan kalah, dan sejenisnya. Namun, ada kalanya, bersabar menerima keadaan juga salah satu solusi permasalahan.
Ketika ikhlas pada takdir yang tidak sesuai harapan, maka doa-doa mereka pun mulai terjawab.
***
Di sebuah sore yang begitu tenang, saat matahari mulai tenggelam di balik atap-atap perumahan, Juna duduk di depan laptopnya. Langit di luar berwarna oranye lembut, memantulkan cahaya hangat yang masuk ke dalam kamarnya. Suara deru motor para tetangga yang pulang kerja mulai terdengar, dan angin sepoi-sepoi menggoyangkan tirai di jendelanya. Juna mengecek email seperti biasanya tanpa ekspektasi apa pun. Namun, saat matanya tertuju pada sebuah pesan dari Universitas X, napasnya tercekat.
“Ini dia... hasilnya,” gumamnya pelan, hampir tidak berani menggerakkan mouse untuk membuka email itu. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Juna akhirnya mengucap basmalah dan membukanya. Matanya cepat membaca isi pesan itu, dan saat ia melihat kata-kata yang telah ia tunggu-tunggu, tubuhnya membeku.
We are pleased to inform you that you have been granted admission to University X under a full scholarship program.
Membaca pengumuman bahwa dirinya lolos membuat seolah-olah dunia berhenti sejenak. Hening. Juna menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong, mencoba memastikan bahwa ini bukan mimpi.
"Masyaallah ... ini nyata," bisiknya, suara itu hampir tidak terdengar.