Tabut Tuhan di 98

Raz Aka Yagit
Chapter #1

Bab 1 : Aku yang Mengetuk Pintu

Setahun genap telah berlalu mimpi buruk itu. Tapi terornya tak sekejap pun meninggalkan Koh Ah Tian. Kengerian itu belum sepenuhnya pergi. Terlebih peristiwa tersebut meninggalkan satu luka besar yang masih menganga. Bayang-bayang neraka dunia dengan serangkaian alam-alam siksanya masih berbekas kuat di benak pria berusia 58 tahun tersebut. Memorinya terhadap hari-hari kelam pada tahun itu begitu menyiksa. Sekarang tak ada lagi yang tersisa. Buah yang ia petik dari pohon huru-hara itu sudah berhasil membawa pergi setengah dari keimanannya. 

Koh Ah Tian, bernama asli Ai Tian. Marganya adalah Ai. Pria beretnis Tionghoa itu sudah lama menjadi mualaf. Koh Ah Tian memutuskan memeluk kasih sayang Islam pada usia yang masih sangat belia, yakni 18 tahun. Kendati sudah lama mengganti agamanya, Koh Ah Tian masih tetap memakai dan bangga dengan nama pemberian orang tua. Baginya nama adalah salah satu ikatan paling autentik antara dirinya dan para leluhur nan jauh di alam sana selain genetika dan kode DNA. Koh Ah Tian sebenarnya diberikan laqob Arab diawal ia berislam. 

Dian Abdullah! Itulah nama yang dipilih sendiri oleh Koh Ah Tian sebagai nama legalnya di kartu tanda penduduk. Nama itu sebagai bukti identitas keislamannya, sekaligus doa abadi yang akan menyertai sisa perjalanan hidupnya. Nama itu juga yang digunakan sebagai nama dari toko buku yang dikelola olehnya. Nama itu bermakna sederhana, hamba atau abdi Allah. 

Namun siapa sangka, doa dari sebuah nama menemukan batu sandungannya. Doa itu seakan kehilangan makna dan daya tariknya. Hamba itu, saat ini sengaja tengah menjauh dari Tuannya. Zaman dan kehidupan telah menggerus identitas lama, nama, serta doa dari si Cina tua. 

Entah itu darah Tionghoanya, iman Islamnya, maupun putri semata wayangnya. Ketiganya telah memukul keras Koh Ah Tian. Menghempaskan dirinya ke dalam jurang nelangsa tak berujung, hingga hancur berkeping tak tersisa dalam duka.

Toko buku Abdullah. Mungkin satu-satunya toko buku di Indonesia atau di dunia yang namanya bernapaskan Arab namun dimiliki dan dikelola oleh seorang pria Tionghoa. 

Hanya tinggal plang besi nama toko itu saja yang sekarang tersisa. Tergeletak tegap di dinding rumah, tepat di samping Koh Ah Tian yang saat ini tengah duduk meratap penuh kesedihan. Samar-samar di bawah lampu pijar kuning dalam ruangan bernuansa remang-remang.

Toko buku itu adalah saksi bisu betapa besarnya kecintaan Koh Ah Tian terhadap buku. Koh Ah Tian memang seorang maniak buku dan ilmu. Sejak kecil ia sudah sangat mencintai buku. Koh Ah Tian seorang Bibliomania. Kecintaannya ada pada membaca dan mengoleksi buku-buku. Tak terhitung sudah berapa ribu buku yang ia tamatkan. Toko bukunya tidak hanya menjual dan membeli buku, tetapi juga menyewakannya secara cuma-cuma bagi siapa saja yang punya minat besar terhadap membaca. Siapapun bisa datang ke tokonya untuk sekedar membaca. Koh Ah Tian sangat senang dengan orang yang memiliki minat baca tinggi.

Bagi Koh Ah Tian buku bukan hanya jendela ilmu, melainkan juga adalah sebuah karya seni berkualitas tinggi. Buku di mata Koh Ah Tian bak senjata tajam pembuka sekat-sekat dunia. Dan para penulisnya adalah pendekar-pendekar susastra yang memperbaharui peradaban manusia.

Namun saat ini toko kebanggaannya tersebut hanya tinggal nama dan sejarah. Toko tak bernyawa itu turut mati tersapu arus kejahatan massa yang menggelora dalam gelombang huru hara. Koh Ah Tian benar-benar telah kehilangan segalanya. Setahun sudah semua tragedi buruk itu berlalu, akan tetapi kesedihan yang dibawa olehnya tak pernah mengenal kata usai dan selesai.

Sejarah yang tertoreh selalu menciptakan perspektif baru, wacana baru, perdebatan baru, dan tentu saja buku-buku yang baru. Jika ada satu buku yang tidak disenangi oleh Koh Ah Tian sekarang, maka itu pasti adalah buku tentang peristiwa kelam yang terjadi setahun lalu. Sebesar itulah luka yang dialami oleh Koh Ah Tian. Ia bahkan berpikir, dosa apa yang sudah dilakukannya hingga ia harus tertimpa tangga kemalangan di hari-hari mengerikan itu. 

Andai saja ia percaya konsep karma seperti sebagian besar masyarakat Tionghoa lainnya, maka Koh Ah Tian pasti sudah akan menyalahkan dirinya dari kehidupan sebelumnya.

Meski muslim yang taat, Koh Ah Tian tak pernah meninggalkan nilai-nilai luhur Tionghoanya. Adabnya, budayanya, cara bersosialnya, makanannya, dan bahkan etos berdagangnya, semua masih khas Cina. Satu-satunya yang berbeda dari Koh Ah Tian dengan Tionghoa lainnya hanyalah asal usulnya, etnisnya. Kebanyakan etnis Tionghoa di Indonesia didominasi oleh suku Hokkien, Hakka, Kanton atau Tiochiu. Koh Ah Tian berbeda. 

Koh Ah Tian seorang Kaifeng. Asal usul leluhur keluarganya bukan berasal dari Fujian, Chaoshan maupun Ghuangzhou, melainkan dari Henan. Bisa dikatakan keluarga Koh Ah Tian mungkin adalah imigran Cina satu-satunya di Indonesia yang berasal dari sana. Koh Ah Tian adalah generasi ketiga dari keluarganya, dan generasi kedua yang lahir di Indonesia.

Lihat selengkapnya