Saat ini era medsos. Tantangannya adalah bagaimana kita bisa membumikan ajaran Islam yang tertera dalam Al-Quran kepada para pengguna media sosial. Dahulu, Anda harus berangkat ke majelis taklim untuk menyimak para ustaz atau kiai mengajar tafsir Al-Quran, tetapi kini para ulama yang mendatangi Anda lewat smartphone yang Anda miliki. Anda bisa mengaji di mana saja, saat tengah terjebak macet, menunggu antrean panjang di bank, di kafe, saat menunggu panggilan boarding pesawat, bahkan di tempat tidur sesaat sebelum Anda rehat.
Berbagai aplikasi digunakan dari mulai Instagram, Facebook, Twitter, WhatsApp group, sampai Telegram channel. Semuanya itu merupakan cara baru dalam berdakwah. Walaupun demikian, efek negatifnya pasti ada. Umat tidak lagi bisa memfilter mana yang benaran ustaz dan mana ustaz yang “benar-benar, deh”. Semua orang bisa mendadak jadi ustaz. Kualifikasi dan hierarki keilmuan menjadi runtuh. Walhasil, medsos juga dipakai sebagai alat menyebarkan kajian keislaman yang tidak ramah, isinya marah-marah, dan parahnya lagi tidak jelas mana yang asli dan mana berita hoaks.
Itulah sebabnya saya terpaksa ikutan turun gunung ke ranah medsos. Kalau mau, saya akan diam saja dan menikmati suasana perkuliahan dengan para mahasiswa bule di kampus Monash University, salah satu kampus terbaik di dunia. Untuk apa saya capai-capai mengurusi medsos yang anak tamatan SMU saja bisa dengan lantang menghina dan mencaci maki para guru besar dan ulama kita? Banyak kawan saya para akademisi yang tidak tahan dengan hiruk pikuk medsos, dan akhirnya kembali ke ruang perkuliahan, seminar, dan menulis artikel di jurnal. Seolah mereka tidak mau kotor berlumuran caci maki di medsos oleh para haters. Namun, kalau kita diam saja, bagaimana dengan nasib umat? Siapa yang mau mencerahkan mereka lewat medsos?
Saya menulis sejumlah catatan tentang Al-Quran dan tafsirnya di medsos. Saya tidak mengklaim diri sebagai mufasir. Namun, saya memang sejak 2005 mengelola majelis khataman Al-Quran di Kota Brisbane, lalu Kota Wollongong, dan kini di Melbourne. Setiap bulan selepas khataman, saya mengurai makna dan rahasia ayat suci Al-Quran. Di sanalah saya semakin paham bahwa banyak yang semata mengandalkan terjemahanan Al-Quran dan mereka mengambil rujukan dari medsos ketimbang dari kitab tafsir klasik dan modern.
Kumpulan tulisan saya yang tersebar di medsos kemudian saya tawarkan kepada salah satu penerbit, yang kemudian menolaknya karena dianggap isinya melawan arus. Memang saat ini dibutuhkan keberanian untuk membimbing umat, dengan risiko tidak populer. Banyak yang memilih mengikuti apa maunya umat sehingga dunia menjadi terbalik. Bukannya akademisi atau ulama yang membimbing umat agar mendapat pencerahan, melainkan malah akademisi atau ulama yang mengikuti suasana emosi dan pemahaman orang awam. Berbeda dengan pemahaman orang awam malah menjadi berbahaya saat ini.
Syukurlah bagi saya, ada penerbit yang berani. Penerbit Bentang Pustaka kemudian berkenan menerbitkan naskah ini. Kita harus mendidik umat untuk terbiasa dengan perbedaan pendapat. Akademisi bisa salah, ulama bisa khilaf, tetapi yang jelas kami tidak boleh berbohong apalagi merusak integritas keilmuan kami. Jikalau memang ada perbedaan penafsiran ayat, itulah yang harus kita sampaikan. Tidak boleh menyembunyikan pendapat yang berbeda hanya karena khawatir mendapat cemoohan atau ditinggalkan jemaah. Untuk itu, saya berterima kasih kepada Bentang Pustaka yang memfasilitasi naskah ini sampai ke tangan pembaca yang lebih luas.
Saat naskah ini tengah diedit oleh penerbit, datang berita duka. Ibunda saya, yang telah 20 tahun menderita kanker, berpulang ke rahmatullah. Ibu saya ini semasa hidupnya merupakan pembaca setia sekaligus kritikus yang paling keras. Beliau tekun membaca tulisan saya dan setelahnya, berhamburanlah kritikan dari beliau. Saya persembahkan buku ini untuk ibunda saya. Setiap huruf dalam buku ini adalah sebuah bentuk cinta dan terima kasih saya kepada ibunda yang mengajari saya mengaji, menimbulkan kecintaan saya kepada Al-Quran dan terus mendorong saya untuk menyelesaikan pendidikan formal saya. Jikalau buku ini ada nilainya di sisi Allah, saya hadiahkan pahalanya untuk ibunda saya. Lahal Fatihah ….
Saya juga berterima kasih kepada para jemaah majelis khataman yang saya asuh, para santri virtual di medsos yang rajin menunggu-nunggu tulisan saya berikutnya, keluarga saya yang selalu setia mendukung saya, dan tentu saja para kiai, masyayikh dan asatidz yang mengizinkan saya turut menyebarkan keberkahan ilmu yang saya pelajari dari kedalaman ilmu mereka.
Saya tutup pengantar ini dengan sebuah coretan yang menggambarkan suasana hati saya dalam menulis tafsir sejumlah ayat suci di medsos yang menjadi bahan buat buku ini.