Jika di hadapan kita terdapat sebuah ayat Al-Quran, apa yang akan kita perbuat terhadap teks suci tersebut? Paling tidak, kita akan membaca, mencoba memahami, dan kemudian mencoba menafsirkannya. Bagaimana kita membaca, memahami, dan menafsirkan Al-Quran? Bagaimana seorang manusia yang lemah dan hina seperti kita dapat memahami makna sebuah ayat yang pada dasarnya merupakan “bahasa” Allah? Al-Quran adalah kalamullah (perkataan Allah) yang kita tidak tahu bagaimana hakikat bentuk dan jenisnya.1
Ketika Allah “mengucapkan” kalam-Nya kepada Jibril, terjadilah sebuah proses pertama dari turunnya wahyu. Kalam tersebut ditangkap dan dipahami oleh Jibril untuk kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. lewat medium bahasa Arab. Pada titik ini terjadi proses kedua, yaitu transfer dari firman Allah, yang dipahami oleh Jibril, kepada Nabi Muhammad Saw. melalui medium bahasa yang dapat dipahami oleh Nabi, yaitu bahasa Arab. Umat Islam meyakini bahwa dalam kedua proses tersebut tidak ada unsur kesalahan ataupun distorsi makna.
Proses ini belum berhenti. Proses selanjutnya adalah ketika Nabi Muhammad Saw. menyampaikan firman Allah tersebut kepada para sahabatnya. Pada titik ini, berbeda dengan Jibril yang hanya menerima dari Allah dan menyampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw. secara apa adanya, Nabi Muhammad Saw. tidak hanya menerima dan menyampaikan, tetapi juga turut menjelaskan dan menafsirkan serta, pada sejumlah ayat, memberi contoh praktis penerapan wahyu Allah tersebut.
Sejarah mencatat bahwa proses keempat juga harus dilewati, yaitu proses pengumpulan ayat-ayat Al-Quran yang dihafal dan dicatat dalam beberapa bentuk untuk kemudian disatukan. Proses keempat ini, yang terjadi pada masa setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, melewati perdebatan sengit di kalangan sahabat, pembentukan panitia pengumpulan, dan kemudian proses kesaksian. Sekali lagi, proses belum berhenti. Proses kelima adalah memperbanyak mushaf yang telah selesai pada masa sebelumnya. Sekali lagi, pada titik ini, telah terjadi perdebatan seputar kegiatan ini seperti perbedaan qiraat (bacaan) dan berapa jumlah mushaf yang dikirim ke sejumlah daerah tertentu sebagai pedoman bila terjadi perbedaan bacaan. Setelah semua proses ini dilewati (termasuk penambahan tanda baca) maka Al-Quran hadir dan bisa kita nikmati dalam bentuknya seperti sekarang.
Proses terakhir (keenam) boleh jadi adalah penafsiran dan penerjemahanan ayat Al-Quran ke dalam berbagai bahasa di dunia yang melibatkan unsur budaya lokal, interpretasi, ekspresi, dan pilihan kata atau tafsir tertentu. Pada proses terakhir ini, betapapun hebatnya sebuah tafsir atau sebuah terjemahan, kualitasnya tidaklah sama dengan kualitas asli kalamullah yang dibawa Jibril dan disampaikan kepada Muhammad Saw.
Lazim diketahui bahwa ayat-ayat Al-Quran itu tidak turun sekaligus, tetapi melewati proses panjang selama lebih dari 20 tahun. Selama sekitar 20 tahun, Allah berdialog dengan hamba-Nya melalui medium bahasa dengan nabi sebagai medium penjelas. Karena proses turunnya Al-Quran berangsur-angsur maka sebagian ayat turun untuk “mengomentari” suatu peristiwa khusus atau tertentu (belakangan peristiwa itu dikenal dengan istilah asbabun nuzul), sebagian lagi merupakan cerita dari Allah tentang masyarakat yang lalu, sebagian lagi merupakan pernyataan-pernyataan ketuhanan tentang sejumlah aspek kemanusiaan (akhlak, hukum, tauhid, dan lainnya).
Ketika Nabi Muhammad Saw. menyampaikan (tabligh) isi dan teks wahyu kepada para sahabat, umat Islam, sekali lagi, meyakini bahwa tidak terjadi perubahan, penyimpangan, ataupun kesalahan informasi. Walaupun para ahli ilmu kalam (teolog) berdebat mengenai kema’shuman Nabi Muhammad Saw.: apakah Nabi Muhammad Saw. ma’shum dalam segala hal atau tidak, tetapi mereka sepakat bahwa Nabi Muhammad Saw. itu ma’shum dalam hal menyampaikan wahyu (tablig).
Seperti disinggung pada proses ketiga di atas, Nabi Muhammad Saw. tidak hanya menyampaikan “bahasa” Ilahi kepada para sahabat, tetapi juga memahami, menjelaskan, menafsirkan dan mempraktikkannya.
Sampai di sini terjadi perdebatan lagi: apakah penafsiran atau ijtihad Nabi Muhammad Saw. itu bisa dianggap bagian dari wahyu (wahy gair matluw) yang pasti benar dan terjamin validitasnya, atau murni berdasarkan akal pikiran (rakyu) yang boleh jadi mengandung kesalahan? Jika berdasarkan rakyu, pada bidang apa saja Nabi Muhammad Saw. boleh berijtihad?2
Seperti disinggung pada proses ketiga di atas, Nabi Muhammad Saw. tidak hanya menyampaikan “bahasa” Ilahi kepada para sahabat, tetapi juga memahami, menjelaskan, menafsirkan dan mempraktikkannya.