Tafsir Cinta

ziana Novella
Chapter #1

Awal kisah

Ngawi, Jawa Timur 2009

"Aisyah..." Seru seorang perempuan dengan nafas ngos-ngosan di depan bangunan yang di jadikan sebagai tempat ibadah bagi umat Islam di desa yang terletak di kaki gunung Lawu itu. Sebuah bangunan yang mulai usang dan tua, yang selalu ramai dengan anak-anak kecil yang menimba ilmu agama di setiap sorenya, orang-orang sekitar biasa menyebutnya dengan sebutan Langgar.

Air mata perempuan berlinang deras, mengalir tanpa peduli ada mata-mata polos yang memperhatikannya dengan raut bingung. Mereka saling melempar pandangan, berbisik lembut kepada teman sebaya di sampingnya.

"Mbak Aruna, ada apa ?" ku letakkan kapur tulis yang sedang aku pegang di kotak kayu yang terpasang di tepi papan tulis. Aku berjalan menghampiri mbak Aruna dengan penuh tanda tanya. Masih belum mengerti apa yang membuat perempuan itu menangis dan datang dengan rasa sedih yang tidak bisa di sembunyikan.

"Aisyah..Ibu.." Ucapnya pelan dengan suara tertahan. Tangisnya semakin menjadi ketika menyebut sosok perempuan paruh baya yang sudah lama terbaring karena sakit.

Tidak ingin lama berbasa-basi dengan pembicaraan yang hanya mengulur waktu, Aku bergegas pergi dengan langkah yang cepat. Jantungku berdebar, larut dalam gelisah dan cemas yang menyeruak. Bayangan buruk dalam angan silih berganti menghantui.

"Ya Allah apa sebenarnya yang sedang terjadi kepada ibu ?" Gumam ku dalam hati. Langkah kakiku semakin cepat ku ayun, melewati jalan setapak yang masih rata dengan bebatuan.

mbak Aruna mengikutiku dari belakang, susah payah setengah berlari untuk mengejar langkahku yang sudah lebih dulu melesat pergi ketika mendengar nama ibu terucap dengan raut sedih dari mbak Aruna.

Aku berdiri di halaman rumah, tercengang dengan rasa yang tidak tergambar. Orang-orang sudah penuh memadati setiap sudut rumah tua yang ku tempati bersama ibu. Suara-suara tangis menjalar menghampiri telingaku yang tertutup rapat oleh jilbab.

Bulu kudukku berdiri seketika, begitu juga dengan lututku yang terasa semakin lemas tak bisa untuk ku kendalikan dengan mudah. Aku kembali melangkah, tapi dengan sangat lambat. Harapan baik tercurah, walau hatiku menolak dan berkata mustahil. Ada apa ? Bendera kuning ? Suara tangis ? Ibuku kenapa ? Hatiku lantas menjerit, walau bibir ini masih memilih diam. Air mata mengalir, meskipun sepenggal cerita belum menyapa telinga.

Lihat selengkapnya