Tafsir Cinta

ziana Novella
Chapter #2

Bangkit

Satu Bulan kemudian....

Adzan Subuh baru selesai berkumandang, Aku baru saja selesai mengambil air wudhu lalu melakukan sholat berjamaah dengan mbak Aruna dan Simbah. Usiaku memang baru delapan belas tahun. Namun, banyak yang mengatakan jika aku sangat fasih ketika membaca Ayat-ayat suci Al-Qur'an. Aku tidak berbesar hati dengan pujian itu. Bisa saja, Allah sedang menutup segala kekurangan ku dengan sangat rapat. Jadi tidak ada yang perlu untuk ku sombongkan.

Sudah menjadi kebiasaan yang tidak ingin ku tinggalkan, Aku selalu mencium punggung tangan Simbah dan mbak Aruna selesai sholat, aku juga bermunajat dengan syair-syair doa yang selalu ku pintakan kepada Allah. Doa tulus yang terucap tanpa syarat selalu aku utamakan untuk ibu dan bapak yang lebih dulu berpulang, kembali kepada Sang Illahi karena memang waktu yang di berikan telah habis.

Ku sempatkan membaca Al-Qur'an setiap hari, apalagi usai sholat Subuh dan Maghrib. Waktu yang ku gunakan untuk menghafal dan memahami setiap makna yang tersirat di dalamnya. Mungkin, keadaan memaksa ku untuk tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi, tapi tidak menjadi alasan untuk tidak melanjutkan belajar. Karena bagiku, menuntut ilmu tidak hanya di bangku sekolah saja. Dan lebih beruntung lagi, aku sejak kecil, memang sangat senang menimba ilmu agama bersama Mbak Zahwa, anak seorang Kyai di tempatku tinggal. Mbak Zahwa adalah perempuan yang Sholihah, seseorang yang selalu tulus membagi ilmu yang ia peroleh di pondok pesantren.

"Shodaqollahul 'adzim,"

Ku tutup Al-Qur'an di genggaman tanganku, tidak lupa ky cium bagian sampul yang telah usang. Mengusapnya dan memeluknya dengan erat, menjadi bagian dari rasa cintaku terhadap Al-Qur'an. Bagiku, ayat-ayat yang ada di dalamnya menjadi obat, serta penenang dan penyalur dari rindu yang menjalar dan hadir di setiap hariku. Obat dari segala beban kehidupan.

"Aisyah ?" Mbak Aruna yang sudah lama berdiam di ambang pintu masuk dan duduk bersimpuh di depanku. Ia memandangiku dengan jeli, mengamati setiap garis-garis wajah yang tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang ada.

"Aisyah dulu pertama kali belajar mengaji sama Ibu..." Lagi, lagi aku menunduk pilu, terlintas bayangan perempuan paruh baya yang sangat sabar dalam mendidikku. Menjadi orang tua tunggal, dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan membuat Almarhumah Ibu menjadi sosok yang tangguh. Perempuan yang menjadi inspirasi putrinya. Darinya, aku belajar arti dari sabar dan ikhlas yang sesungguhnya.

Mbak Aruna memilih diam, tidak tahu kata apa yang bisa mewakilkan rasa iba yang menyapa di hatinya. Tidak tahu pula bagaimana cara yang tepat untuk membuat seseorang bisa tegar dan tabah. Dirinya sendiripun merasakan hal yang sama, ia masih sering menangis tiba-tiba saat logikanya kembali mengingatkan pada sosok ibu yang memilih pergi meninggalkan dia bersama seorang bapak yang durhaka.

Mbak Aruna melepas pelukannya, lalu menatap mataku dengan hangat. Ia menggenggam jemariku penuh kasih, gerakannya seolah mengatakan jika dirinya adalah orang yang juga sangat menyayangiku lebih dari apapun yang ia miliki. Di tepisnya sedih dan berusaha menjadi pelipur dalam setiap lara yang menyapanya.

"Mbak Aruna selamanya akan tinggal sama Aisyah kan ?"

"Insya Allah, mbak akan selalu menjaga kamu nduk."

Lihat selengkapnya