Tahanan Patung Pemuda

Kim Sabu
Chapter #2

Polisi Ganteng 1

Siang itu, aku mendengar kabar dari inspektur perihal polisi baru. Dikatakannya bahwa polisi baru itu akan melayaniku setiap waktu, melayaniku sebagai tahanan yang sudah tua. Maka aku berharap kepada Tuhan seru sekalian alam agar mengirim seseorang yang bisa membuatku sedikit tak tersiksa oleh pukulan demi pukulan. Aku berharap Tuhan bisa mengirimkan malaikat-Nya sekadar bisa memberikan perlakuan lemah lembut, bukan perlakuan kasar seperti yang kudapatkan selama puluhan tahun di balik jeruji ini.

Tak lama kemudian setelah aku melakukan ritual ibadah, seorang laki-laki berseragam membuka jeruji besiku. Aku yang masih duduk berzikir kepada Tuhan membalikkan badan ke arahnya. Ia memberikan senyumnya dan mendekat. Kulihat wajahnya yang dicumbui senyuman membuat hatiku tenang. Aku berpikir kalau dia pasti orang baik-baik. Tubuhnya yang terbalut seragam polisi membuatku kagum padanya.

“Bapak bagaimana kabarnya hari ini?”

Aku menatapnya dengan mata nanar, “Seperti yang kau saksikan.”

“Mulai sekarang, saya yang akan melayani Bapak.”

“Terima kasih.”

Polisi itu sepertinya heran melihat dinding-dinding kamarku dipenuhi coretan yang sama. Dia membelalak, mengarahkan pandangannya ke segala arah. Aku hanya bisa menatap kosong menyaksikannya berbuat demikian. Mulutnya sesekali menyebut nama yang tertulis di sana.

Kutatap pemuda itu dengan pandangan yang terkadang tak ingin kualihkan. Betapa tidak, aku melihat ada sosok lain dalam dirinya. Aku suka memandangnya, aku merasa menemukan nama yang telah tertulis di setiap dinding itu. Pemikiranku, kalaupun Miftah sehat, maka ia sudah berusia sama dengan polisi itu.

Sungguh, kedatangan polisi muda itu membuatku meneteskan air mata karena kembali teringat Miftah. Apa yang dikerjakannya sekarang? Bagaimana kabarnya? Sudahkah dia makan? Setampan apakah dia? Aku belum tahu, tak pernah kudengar kabar tentangnya.

Air mataku merembes sambil mengingat, ketika dulu, kupeluk mesra tubuhnya di atas kereta, bersama ibu. Kuharap Tuhan berbelas kasih membaca rentetan doaku untuk memberikan Miftah kehidupan yang layak, tidak seperti diriku yang berakhir dalam dekapan penjara.

“Siapa itu Miftah, Pak?” Pemuda itu menanyakan nama yang tertera di setiap dinding, “Kenapa Bapak menangis?”

Lihat selengkapnya