Aku berlari melewati pintu pagar yang akan segera ditutup. Saat itu aku berpapasan dengannya. Dia tinggi, rambutnya ikal dan dipotong agak pendek. Kulitnya kuning langsat, tatapannya tajam dan bulu matanya tebal. Rahangnya tegas. Baru pertama kali itu aku melihat sosoknya. Jika cinta pada pandangan pertama itu ada, mungkin itulah yang aku rasakan.
Atau aku tengah mengalami 'sindrom murid baru'? Di mana bermacam cerita romansa remaja yang pernah aku baca, selalu bermula dari ketertarikan pada siswa baru. Dan secara tidak sadar, otakku seakan ingin mewujudkan segala khayalan seperti pada novel tersebut?
Entahlah.
Aku segera berlari ke kelas sementara dia jalan menuju kantor kepala sekolah. Aku duduk di bangku tengah deretan ketiga dari empat deretan. Wali kelas memasuki ruangan--dia adalah guru Bahasa Indonesiaku saat masih di kelas sepuluh.
Wali kelasku memperkenalkan diri lalu mempersilahkan seseorang memasuki kelas kami. Dia adalah lelaki yang telah membuatku terpesona.
Namanya Raja.
Ia tak banyak bicara, hanya mengatakan kalau namanya Raja lalu duduk di kursi sebelahku. Memang sedikit berjarak karena sistem bangkunya satu untuk satu orang, tetapi aku termasuk yang paling dekat dengannya. Seluruh kelas tampak tertarik pada Raja. Dia benar-benar menjadi seperti Raja yang baru saja naik tahta.
Usai perkenalan Raja, kami juga ikut memperkenalkan diri di depan kelas. Aku gugup sekali, kupikir tak ada yang kukenal di kelas baru itu, tetapi ternyata ada Sinta. Dia temanku saat kelas sepuluh. Aku memperkenalkan diri dengan singkat seperti Raja. Sebelum kembali duduk, aku meliriknya. Dia sedang menunduk dan mencoreti buku tulisnya. Raja tidak memperhatikanku saat di depan kelas.
Seharian aku hanya memperhatikan Raja. Dia berdiam diri di bangkunya. Orang-orang di kelas masih ragu untuk menyapa dan dia juga seakan memasang tembok pembatas agar kami tidak mengganggunya. Aku memakluminya. Kami semua memakluminya. Dia masih baru, besok juga akan bergaul dengan kami.
Esoknya Raja masih sendirian. Aku mencoba untuk menyapanya, tetapi dia diam saja. Mungkin tak mendengarku, karena aku cuma berbisik sangat pelan dan berharap tak ada yang mendengarnya—termasuk Raja.
"Apa kamu mau makan denganku saat jam istirahat nanti?" tanyaku dalam hati. Bodoh memang.
Seharian itu aku sibuk berdelusi tentang Raja dan perkenalan kami. Sementara kenyataannya, Raja masih saja berdiam diri walau kali ini ada beberapa orang yang bertanya padanya dan ia menjawab sekenanya—hanya sekedar berbasa-basi.
Andai orang yang menyapanya untuk pertamakali adalah aku. Andai saja!
Aku jalan menuju toilet saat istirahat dan berpapasan dengan Raja yang baru saja keluar dari toilet laki-laki. Aku hendak tersenyum menyapa tetapi dia pergi begitu saja. Sepertinya Raja tidak ingat kalau aku duduk di samping kirinya.
Besoknya aku bertekad untuk berbicara dengan Raja, tetapi tekadku melebur saat melihatnya memasuki kelas bersama rombongan murid populer di kelasku. Raja tampak bersinar di antara mereka, dia jadi lebih hidup dari biasanya. Raja sudah berhasil beradaptasi—dan hanya membutuhkan waktu tiga hari.