Malam ini pikiranku sedang tidak tenang. Aku masih dihantui kata-kata Kak Mura. Aku tidak tahu harus berbuat apa jika memang Kak Mura berkata benar. Sepertinya Kak Sarinah lebih beruntung dariku. Ia masih bisa menikmati masa remajanya dengan teman-temannya, sedangkan aku mungkin dalam waktu dekat ini akan dijodohkan. Kak Sarinah juga masih bisa menikmati rasanya belajar di pondok pesantren, aku mungkin tidak akan bisa merasakannya.
"Hoaaam." Aku menguap dengan mulut yang sengaja aku buka lebar-lebar dengan harapan air mata menetes dan aku bisa cepat tidur—kata Ibu begitu.
"Kok gak ngantuk ya?" gumamku pelan sambil membenahi bantalku.
"Mana Kak Sarinah sudah tidur nyenyak, jadi gak bisa curhat deh." Aku kembali merebahkan tubuh di kasur dan berusaha untuk membuat mataku pegal dan akhirnya tertidur.
Aku menutup mataku dengan kondisi belum mengantuk sama sekali. Aku berharap kalau nanti aku akan benar-benar mengantuk.
Kira-kira sudah 10 menit aku menutup mataku, tapi aku tetap tidak kunjung mengantuk dan malah membuat mataku gatal karena terlalu lama menutup mata. Aku benar-benar bingung.
Sebentar, cacing perutku berbunyi. Aku lapar sekali. Tapi, aku takut pergi ke dapur seorang diri. Ah, kenapa aku harus begini. Aku begadang memikirkan perjodohanku hingga akhirnya pikiranku kacau dan akhirnya kelaparan.
"Puh," keluhku pelan.
"Kalau aku terus diam di sini, bagaimana bisa aku kenyang?" gumamku bertanya pada angin lalu.
Aku turun dari ranjang dan meninggalkan Kak Sarinah yang sudah tertidur pulas dan bergelut dengan alam bawah sadarnya. Andai saja aku bisa tidur, pasti aku sudah duel dengan Kak Sarinah di alam mimpi, haha.
Pranggg!
Aku mendengar sesuatu dari dapur. Sepertinya panci penggorengan jatuh, apa mungkin Ibu yang menjatuhkannya. Tapi, Ibu tidak mungkin belum tidur sampai jam malam. Oh, atau jangan-jangan itu ada orang masuk ke dalam rumahku dan berniat mencuri. Ini tidak bisa dibiarkan.
Aku mengumpulkan sisa-sisa keberanianku yang hanya tinggal secuil lalu berjalan pelan-pelan menuju arah dapur. Aku terus berjalan dengan tubuh yang sudah berkeringat dingin dan kaki yang sudah dingin sekali, mungkin ini berlebihan.
Aku berhenti tepat di tikungan antara dapur dan ruang tengah. Aku sedikit mengintip ke arah dapur dan mendapati bahwa tidak ada siapa-siapa di sana. Lantas, tadi siapa yang menjatuhkan panci penggorengan. Sebentar, panci penggorengannya sudah tidak ada di tanah dan sudah kembali menggantung di dinding dapur.
Dengan segala rasa penasaran yang menghantuiku, aku memberanikan diri untuk melangkah menuju dapur. Aku berhenti tepat di depan tungku lalu menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari si pelaku yang menjatuhkan panci penggorengan, siapa tahu ada maling. Jika benar ada maling, aku akan meringkus malingnya lalu aku menjadi kebanggaan Ibu karena sudah berhasil mencegah seorang maling mencuri di rumahku.
Aku menunduk lesu menatap tanah dapur dan mendapati bahwa ada jejak yang tertinggal. Yang aku lihat, jejak itu sepertinya adalah jejak kaki seseorang yang memakai sepatu boots, mendadak rasa penasaranku semakin menjadi, aku akan menelitinya. Aku memperhatikan jejak itu dan mengikutinya hingga jejak sepatu itu mengarah ke arah kandang ternak ayah. Ini mencurigakan.
Aku berhenti sejenak di tempat yang agak jauh dari kandang namun cukup jelas untuk melihat apa saja yang terjadi di sana. Siapa pun yang berbuat kriminal di kawasan rumahku, akan aku pastikan jika ia tidak bisa pulang dengan selamat.
"Satirah," ucap seseorang dari belakang sambil menepuk bahuku sehingga aku terjingkat kaget.
"Kak Sarinah." Aku menatap oknum yang membuatku kaget dengan tatapan sebal.
"Kamu lagi ngapain di sini?" tanyanya dengan suara agak tinggi.
"Sst!" Aku membekap mulutnya dan menariknya agar ikut jongkok bersembunyi bersamaku.
"Ada apa sih?" tanya Kak Sarinah dengan berbisik.
"Aku juga gak tau ada apa, jadi kita selidiki bareng, oke?" ucapku meminta persetujuan pada Kak Sarinah untuk bersama-sama jadi detektif akan masalah ini.
"Kamu gimana sih, menyelidiki tapi gak tau apa masalahnya." Kak Sarinah menyahut dengan nada sebal.
"Sudah lah Kak, ikut saja." Aku membalas tak kalah sebal.
Kreeeek!
Aku mendengar suara kandang ternak dibuka. Merasa aneh, karena jarang ada orang yang mengunjungi ternak pada malam-malam begini. Eh, jangan-jangan itu maling.
"Rah, itu ada maling!" seru Kak Sarinah kelepasan.
"Kak, diam dulu." Aku membekap mulutnya lagi. Sementara itu, orang yang membuka pintu kandang sudah menoleh ke arah persembunyian kami. Oh, semoga tidak ketahuan.
"Meong," celetukku refleks untuk mengalihkan pikiran buruk si maling yang mungkin curiga akan dikuntit.
"Ayo kita tangkap malingnya," ajak Kak Sarinah.
"Jangan. kakak panggil ayah sama ibu aja, aku di sini mengawasi malingnya." Aku mengusulkan.
"Nanti kalau kamu ketahuan gimana?" tanya Kak Sarinah sambil mengernyitkan dahi.
"Tenang, aku kan jagoan." Aku mengangkat alis dengan gaya.
"Kamu jangan sok berani, Rah." Kak Sarinah berwajah panik.
"Sudah lah Kak, beres pokoknya." Aku mengacungkan jempol dengan mantap.
"Ya deh. Kamu diam di sini jangan mengundang kecurigaan, Kakak mau panggil ibu sama ayah." Kak Sarinah mengalah.
"Siap dong," sahutku mantap.