"Mohrah, ayo main!" panggilku dari luar rumah Mohrah.
"Sebentar!" balas Mohrah dengan berteriak dari dalam rumahnya.
"Satirah, duduk dulu gih." Bibi Armija menyeletuk sambil membelai rambutku.
"Ya, Bi." Aku berjalan duduk menuju amben yang ada di pekarangan rumah Mohrah lalu duduk di sana.
"Mau main ya?" tanya Bibi Armija yang kini sedang menjemur pakaian di dekatku.
"Iya, Bi. Tapi Mohrah lama sekali." Aku mengerucutkan bibir dan membuat Bibi Armija terkekeh pelan.
Aku masih duduk anteng di atas amben sambil sesekali membantu Bibi Armija memeras dan menjemur pakaian. Aduh, Mohrah lama sekali sih.
Tunggu, aku teringat sesuatu. "Bibi Armija sama Ibu kemarin ngomong tentang perjodohan ya?" tanyaku tiba-tiba.
"Iya, memangnya ada apa kok kamu tiba-tiba tanya itu?" tanya Bibi Armija balik.
"Ya gak apa-apa sih, Bi. Oh iya, emang siapa yang mau dijodohkan?" tanyaku lagi.
"Yang mau dijodohkan itu—"
"Hai, Rah! Ayo, katanya mau main." Mohrah tiba-tiba datang dengan pakaian yang sangat rapi seperti hendak menghadiri hajatan. Tapi, sayangnya ia malah membuat kata-kata Bibi Armija terpotong dan akhirnya aku belum bisa mendengar jawaban langsung dari Bibi Armija. Aduh, Mohrah datang di waktu yang tidak tepat.
"Iya ayo," balasku sambil tersenyum kaku.
"Kita mau main dulu, Bu. Assalamualaikum." Mohrah menyalami tangan Ibunya, begitu pula denganku.
"Waalaikumsalam, hati-hati ya!" seru Bibi Armija.
"Iya, Bi. Dadah!" seruku sambil melambaikan tangan pada Bibi Armija. Tentunya ini bahagia palsu, karena yang aku inginkan sekarang adalah jawaban jujur dari Ibu atau Bibi Armija.
"Kenapa kamu pakai baju rapi gitu?" celetukku bertanya.
"Ya gak apa-apa. Masa pakai baju rapi gak boleh?" sahut Mohrah dengan tampang menyebalkan khas dirinya.
"Ya boleh sih," balasku ketus.
"Jadi nanti akan ada perayaan tok-otok di rumah Kyai Kiflan, rencananya aku mau ikut ke sana." Mohrah menjelaskan.
"Kyai Kiflan yang rumahnya dekat jalan raya itu?" tanyaku memastikan.
"Iya, mau ikut juga?" tanya Mohrah.
"Gak deh, kan ... jauh." Aku mengerucutkan bibir. "Ke sana nanti siang atau sore?" lanjutku bertanya.
"Siang ini," jawab Mohrah. "Ayahmu juga ikut kok," sambungnya.
"Masa sih? Kok aku gak dikasih tau?" rengekku.
"Aku saja baru diberi tahu ayahku," celetuk Mohrah menyahut.
"Kalau ayahku ikut, aku juga ikut lah." Aku membalas.
"Katanya tadi gak mau," sahut Mohrah.
"Kalau sama ayah aku mau, soalnya bisa naik sepeda." Aku menjelaskan.