Aku duduk lesu di halaman samping rumah ditemani dengan udara, hamparan tanah padat, dan ... kuburan Momoy. Aku sedih sekali saat ini. Ah, tidak bisa kubayangkan jika aku akan marah pada Ayah sampai bertahun-tahun lamanya, lagipula aku sangat sayang dengan Ayah, tapi kalau untuk sekarang ... tidak tahu lah.
"Momoy," rengekku dengan meneteskan air mata haru.
"Satirah sudah dong, Ayah kamu kasihan." Seseorang menyentuh pundakku pelan yang ternyata adalah Kak Mura.
"Momoy lebih kasihan, Kak." Aku membantah kasar ucapannya.
"Ayah kamu sudah tidak punya uang lagi sehingga harus menyembelih Momoy untuk dijadikan hantaran tok-otok ke rumah Kyai Kiflan setelah sebelumnya Kyai Kiflan sempat membantu keluarga kita dengan membelikan sapi besar," jelas Kak Mura.
"Ayam lain kan masih ada, kenapa harus Momoy yang dipotong?" tanyaku.
"Ayam lain itu sudah pesanan orang yang akan segera diantar sore ini," jawab Kak Mura.
"Kalau begitu, mengantar hantarannya sore saja setelah dapat uang dari pelanggan." Aku membalas.
"Rencananya, uang dari pelanggan akan digunakan Ayahmu untuk membayar hutang pada rentenir." Kak Mura melanjutkan.
"Hutang?" ulangku tak percaya. "Hutang untuk apa?" lanjutku bertanya.
"Waktu itu sebelum Kakakmu balik dari pesantren, Ayahmu sempat merenovasi ruangan kamar kalian, kan?" ucap Kak Mura.
"Iya, lalu kenapa?" tanyaku lagi.
"Uang yang digunakan untuk renovasi ruangan kamar kalian itu adalah uang pinjaman pada rentenir," jelas Kak Mura yang membuatku terkejut dan membelalakkan mata.
"Seharusnya ayah tidak usah merenovasi kamar jika tidak punya uang, kenapa ayah malah nekat meminjam uang?" gumamku kesal.
"Itu demi kamu, Rah." Kak Mura menatapku lekat. "Bukankah waktu itu kamu yang kukuh meminta Ayah untuk merenovasi kamar dengan alasan karena kamar terlalu sempit untuk ditempati dua orang?" lanjutnya yang langsung membuatku teringat dengan kejadian sebulan lalu.
Ya, aku sangat ingat kejadian itu. Akan aku ceritakan kembali.
Saat itu Ibu baru saja mengabari padaku jika Kak Sarinah akan kembali ke rumah. Tentunya aku sangat senang setelah mendengar kabar itu. Saking senangnya, secara tidak sengaja aku malah merepotkan Ayah dan Ibu. Aku bilang pada mereka jika kamarku terlalu sempit jika ditiduri oleh 2 orang, jadilah aku memaksa Ayah untuk merenovasi kamar agar diperluas dan membeli satu kasur kapuk lagi.
Saat Ayah berhasil mengabulkan keinginanku, aku senang sekali, tapi nyatanya aku malah menyusahakan. Aku sudah membuat Ayah lelah karena merenovasi kamar, ditambah lagi dengan masalah keuangan yang akhirnya memaksa Ayah untuk meminjam uang ke rentenir. Padahal aku pernah mendengar jika meminjam uang ke rentenir itu perbuatan yang tidak baik. Aku sangat bodoh! Ya, aku bodoh sekali.
"Masih ingat?" celetuk Kak Mura yang membuat lamunanku buyar seketika.
"Iya," jawabku lesu dengan menunduk.
"Kenapa sekarang lesu?" balas Kak Mura dengan nada hendak marah.
"Satirah salah." Aku kembali menjawab tanpa mendongakkan kepalaku untuk menatapnya.
"Salah kenapa?" timpal Kak Mura lagi.
"Sudah ngerepotin ayah," jawabku dengan menahan tangis.
"Terus setelah kamu tau kalau kamu salah, masih mau diam terus di sini?" tanya Kak Mura dengan nada sedikit membentak. "Sampai kapan kamu gak mau menatap muka ayahmu?" lanjutnya.