Aku tengah duduk di amben latar rumah seorang diri. Semua orang sedang sibuk hingga aku tidak ada teman, jika aku ingin main di luar malah tidak boleh. Ibu memijat di rumah tetangga jauh, Kak Sarinah sibuk bersih-bersih rumah, dan Kak Mura ... entahlah. Ini sangat mengesalkan. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk duduk diam di sini dan berkhayal tentang hari ini, tentang hari esok, tentang jalan-jalan, tentang siwalan beserta legen, tentang jodohku kelak, dan tentang ... Ayah.
Argh! Serius aku rindu Ayah. Entah kapan Ayah bisa kembali pulang ke Sampang dan berkumpul bersama. Lagipula, masa aku tidak kangen pada Ayah setelah sebelum Ayah pergi aku marah padanya dan tidak mau menemuinya.
Sementara itu, aku kesal pada Ibu. Aku kesal padanya karena tiap kali aku bertanya tentang Ayah, Ibu malah mengalihkan topik pembicaraan. Ini menyebalkan sekali, seakan-akan aku tidak boleh tahu tentang Ayah.
"Kak Mura!" panggilku tiba-tiba saat melihat Kak Mura yang sedang berjalan santai menuju amben di dekatku dengan membawa satu mug yang berembun. Sepertinya itu es. Ya, itu es yang segar. Aku akan minta padanya.
"Ada apa?" tanya Kak Mura dengan nada ketus dan lirikan tajam.
"Minta es dong," ucapku sembari berjalan ke arahnya.
"Gak gak, minta aja kerjaannya." Kak Mura menyingkur dariku.
"Aduh, sedikit saja." Aku tetap kukuh meminta.
"Nanti saja kalau sudah sisa sedikit," sahut Kak Mura dengan santainya.
"Selalu tunggu sisa sedikit, dapat sisa-sisa terus." Aku menggerutu sebal.
"Kalau gak mau, ya sudah." Kak Mura tertawa kecil. Aih, dia sangat menyebalkan.
"Kak Mura nyeb—" Belum selesai aku berkata, Kak Sarinah datang menghampiriku dibarengi dengan raut wajah menakutkannya.
"Rah, mau es?" tanya Kak Sarinah dengan tampang menggoda, apalagi ditambah dengan kata-kata es.
"Mau mau!" seruku girang sambil menatapnya penuh antusias.
"Nanti kita buat ya," ucap Kak Sarinah.
"Kok nanti? Sekarang dong, Kak." Aku merengek.
"Kalau sekarang, berarti kita harus pergi ke pasar dulu untuk beli es batunya." Kak Sarinah menjelaskan.
Aku berpikir sejenak hingga akhirnya menjawab, "Ya sudah deh."
"Oke deh," sahut Kak Sarinah senang.
"Tapi naik delman ya," sambungku yang langsung membuat wajah Kak Sarinah berubah sedikit.
"Kenapa, Kak?" tanyaku sambil menahan tawa.
"Kalo naik delman, uangnya mana cukup, lagian pasar jauh." Kak Sarinah mengernyitkan dahi, lengkap dengan mulutnya yang sudah terbalik ke bawah.
"Lah terus?" Aku menatap Kak Sarinah penuh harapan.
"Kita patungan uang aja buat biaya delman," usul Kak Sarinah. "Gimana? Mau gak?" lanjutnya meminta pendapat.
"Uangku berkurang dong," rengekku. "Tapi oke lah, demi es." Aku tersenyum dan kembali menatap Kak Sarinah yang mukanya juga sudah lebih sedap dipandang.
"Ya sudah, ayo!" seru Kak Sarinah sembari menggandengku dan membawaku ke kamar kami untuk mengais uang dalam celengan yang akan digunakan untuk biaya naik delman.